Istilah ‘Sabil’ dipetik dari kalimat ‘Fi Sabilillah’ yang berguna untuk mendistribusikan sanitasi air dalam rangka layanan sosial. Sabil pertama di Mesir diyakini berasal dari era Mamluk Al-Bahriyyah. Di kota Kairo sendiri, tercatat lebih dari 200 sabil yang pernah berdiri dari masa ke masa. Sebagiannya dilengkapi dengan Kuttab (tempat belajar dan membaca), sementara sebagian yang lain telah runtuh. Di antara yang masih berdiri adalah Sabil Ummu Abbas yang telah berusia lebih dari 150 tahun. Struktur bangunan ini didirikan oleh selir Banbah Qadin binti Abdullah Al-Bidha; istri dari Ahmad Thusun Pasha sekaligus ibunda dari Abbas Hilmy I. Sang janda selir membangun monumen tersebut pada tahun 1284 H/ 1867 M di sebuah persimpangan antara Syari’ Ar-Raqibah, Syari’ As-Suyufiyyah, dan Syari’ Ash-Shalibah. Secara administratif, lokasinya kini masuk kawasan Distrik Sayidah Zainab. Menurut Ali Pasha Mubarak, konon di depan sabil ini terdapat sebuah penjara yang bernama Qaraqul Ash-Shalibah yang kini telah berubah menjadi Hammam Amir Syaikhu dan bangunan-bangunan yang lain.
Secara struktur, Banbah Qadin meminta bantuan dari jasa arsitek Turki yang menerapkan bentuk segi delapan dengan payung kayu berornamen dan atap kubah oktagonal tanpa disertai area interval; sebuah bentuk sabil yang cukup langka di era pra-khedivial. Sabil ini mempunyai dua bagian; bagian pertama merupakan sabil utama yang menghadap Syari’ Ash-Shalibah, sementara bagian kedua berukuran lebih kecil dan berada di ujung Syari’ As-Suyufiyyah.
Arsitektur bangunannya merupakan perpaduan antara gaya Ottoman dan Eropa. Permukaannya dilapisi oleh batuan marmer putih dengan dekorasi hiasan bergaya Baroque dan Roccoco. Untaian khat Nasakh dari ayat-ayat surat Al-Fath secara utuh menjalar di sepanjang area atas dindingnya. Di samping itu, marmernya juga menampilkan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan kegunaan sabil dan beberapa memoar berbahasa Turki. Khat-khat tersebut dipahat oleh seorang ahli ukir asal Turki bernama Abdullah Bin Zuhdi yang kala itu digaji 7500 piaster setiap bulan. Beberapa dindingnya memuat dekorasi jam di mana jarum dan angkanya kini telah rapuh karena tergerus zaman. Adapun area-area yang lain didominasi oleh ornamen garis-garis lengkung dan bentuk-bentuk yang mengembang layaknya dedaunan palem, sebuah karangan, dan bunga yang bermekaran. Kumpulan ukiran dan ornamen tersebut didesain dengan latar merah dan biru yang menambah estetika dan keindahan dari batuan marmer putihnya. Dekorasi pada teralis jendelanya juga memiliki estetika yang sama.
Monumen ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama berada di bawah tanah yang diisi oleh tangki guna menyimpan cadangan air, sementara lantai kedua ketinggiannya sama dengan permukaan tanah. Strukturnya berbentuk sebuah ruangan yang difasilitasi empat jendela yang menghadap ke jalanan. Dari celah jendela, para petugas akan mendistribusikan air dalam gelas tembaga yang diikat dengan seutas rantai. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah lempengan marmer miring bernama Syadzirwan yang memiliki fungsi ganda untuk mendinginkan air dan mensterilkannya dari berbagai kotoran. Setiap hari lempengan marmer itu akan selalu dibersihkan tiap kali pintu sabil ditutup selepas salat isya. Air yang didistribusikan juga selalu diracik dengan aroma wangi Anbar dan bunga mawar agar menambah kesegaran bagi para peminum.
Sabil ini didedikasikan Banbah Qadin untuk mengenang 13 tahun almarhum anaknya Abbas Hilmy I yang terbunuh secara misterius pada tahun 1854 M di dalam istananya di Banha. Abbas Hilmy I memang sosok penguasa yang dikenal cukup represif terhadap rakyat dan dekat dengan kolonial Inggris. Oleh karenanya, sang ibu berharap pahala dan doa orang-orang dahaga yang meminumnya kelak akan tersampaikan pada putranya. Eksistensinya laksana simbol dari gabungan kisah prahara kekerasan dan kasih sayang seorang ibu. Alasan itu jugalah yang membuat Banbah Qadin menamainya dengan ‘Sabil Ummu Abbas’ alih-alih menisbatkan pada dirinya. Dengan begitu, ia berharap kelak nama putranya akan dikenang di tengah masyarakat.
Sabil ini dibangun untuk menyediakan air minum bagi para pejalan kaki dengan berharap pahala dan terkabulnya doa. Keberadaannya juga berfungsi untuk menyalurkan air bersih ke pemukiman penduduk yang kebanyakan tak mampu membayar jasa sanitasi air. Mayoritas penduduk saat itu memang kesulitan untuk memenuhi ketersediaan air dalam rumah mereka lebih-lebih di tengah teriknya musim panas Kairo. Selir Banbah juga menambahkan sebuah kuttab dilengkapi dengan ruangan-ruangan kelas di belakangnya yang konon diisi oleh para pengajar untuk mendidik anak-anak mengenal ilmu-ilmu dasar dan menghafalkan Al-Qur’an. Konsepnya hampir mirip dengan madrasah-madrasah pemerintah di era Khedive Ismail yang menyelenggarakan imtihan di setiap tahunnya. Situs ini berada di sekitar beberapa monumen bersejarah lain seperti Masjid dan Khanqah Amir Syaikhun. Bangunan di sebelah kanannya sekarang dipakai untuk sekolah kerajinan bernama ‘Center for Art and Life. Sabil ini pernah direstorasi oleh Supreme Council of Antiquities (SCA).
Oleh: Wilhanul Haq