Asal-Usul Titik dan Harakat dalam Bahasa Arab


 Sebagian dari kita mungkin sudah mengetahui bahwa Bahasa Arab pada zaman dahulu tidaklah mengenal yang namanya titik maupun harakat. Pada masa Rasulullah SAW, Al-Qur’an pun masih ditulis tanpa titik ataupun harakat. Lantas, mengapa sekarang ada titik dan harakat? Berikut merupakan sejarah terciptanya titik dan harakat dalam Bahasa Arab.

 Penambahan titik pada tulisan Arab pertama kali diperkenalkan oleh seorang ulama besar abad pertama hijriyah yaitu Abu Al-Aswad Ad-Duali (W. 69 H). Hal ini bermula ketika beliau sedang berjalan dan melewati seorang laki-laki yang sedang membaca Al-Qur’an dengan suara lantang. Abu Al-Aswad mendengar laki-laki tersebut membaca

أن الله بريء من المشركين ورسولِه (التوبة : 3)

dengan mengkasrah huruf lam pada kalimat رسوله. Beliau pun tercengang dan berkata, “Tidaklah mungkin Allah SWT berlepas diri dari rasul-Nya”. Setelah kejadian tersebut, Abu Al-Aswad segera bergerak untuk merumuskan tanda baca yang dapat digunakan oleh orang-orang terutama non-Arab dalam membaca Al-Qur’an sehingga dapat terhindar dari kesalahan yang bisa berakibat fatal sebagaimana kejadian di atas.

Abu Al-Aswad akhirnya memutuskan untuk meletakkan titik dalam penulisan Al-Qur’an sebagai alamat i’rab pada tiap kalimat. Beliau meletakkan sebuah titik di atas huruf sebagai tanda harakat fathah, di bawah huruf sebagai tanda harakat kasrah, di samping huruf sebagai tanda harakat dhommah, dan menjadikannya dua buah titik sebagai tanda tanwin. Beliau menamai titik-titik ini sebagai syakl. Syakl inilah yang menjadi pondasi dasar dan langkah awal perkembangan tulisan Arab.

 Pada fase berikutnya, terjadi penambahan titik sebagai pembeda antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan sama tapi berbeda pengucapannya. Seperti huruf ج, ح, dan خ yang pada masa itu semuanya ditulis ح tanpa adanya tanda untuk membedakan ketiganya. Hal ini tentu sangat menyusahkan orang-orang non-Arab yang hendak membaca dan mempelajari Al-Qur’an dan Bahasa Arab. Sedangkan pada masa itu, Islam sedang gencar-gencarnya menyebar ke negara-negara non-Arab.

Lalu, seorang pejabat pada masa Bani Umayyah yaitu Hajjaj bin Yusuf (W. 95 H) mengajukan permintaan kepada Nasr bin ‘Ashim (W. 89 H) dan Yahya bin Ya’mur (W. 92 H) yang merupakan murid dari Abu Al-Aswad Ad-Duali untuk menambahkan suatu tanda yang dapat membedakan huruf-huruf serupa ini demi mempermudah orang-orang non-Arab dalam memahami agama baru mereka.

Setelah diskusi dan pertimbangan yang matang, Nasr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mur sepakat untuk meletakkan titik juga sebagaimana yang dilakukan oleh guru mereka. Namun berbeda dari titik yang ditambahkan oleh guru mereka, titik yang mereka tambahkan kali ini berfungsi sebagai pembeda huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan sama.

Kemudian keduanya juga sepakat untuk mengumpulkan huruf-huruf yang serupa ini sehingga terciptalah urutan abjad baru seperti yang kita kenal sekarang ini, yaitu:

ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي

Huruf yang bentuknya serupa disandingkan satu sama lain supaya orang-orang non-Arab lebih mudah mengingatnya. Dengan demikian, terselesaikanlah masalah untuk membedakan huruf-huruf yang memiliki bentuk serupa ini.

 Selanjutnya, fase ketiga dalam perjalanan dan perkembangan tulisan Arab ini merupakan fase penyempurnaan oleh seorang ulama besar abad kedua hijriyah yaitu Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi (W. 175 H).

Menurut Imam Khalil bin Ahmad, penggunaan terlalu banyak titik dalam tulisan Arab justru membuatnya susah untuk dibaca. Beliau kemudian mengganti syakl yang dirumuskan oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali dengan simbol-simbol tertentu yang beliau ambil dari bentuk-bentuk huruf, seperti harakat dhommah yang diambil dari huruf wawu, harakat fathah dari alif, dan sebagainya.

Imam Khalil bin Ahmad juga menambahkan simbol-simbol baru seperti tasydid, sukun, dan lain-lain dalam tulisan Arab sehingga lebih memudahkan orang-orang dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Simbol-simbol inilah yang akhirnya tetap bertahan sampai sekarang dan dapat kita lihat dalam cetakan mushaf-mushaf era modern ini.

 Demikianlah asal-usul terciptanya titik dan harakat dalam perkembangan Bahasa Arab. Dapat kita saksikan bagaimana usaha para ulama terdahulu untuk memudahkan seluruh umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an dan Bahasa Arab. Terlebih untuk non-Arab yang tentu akan kesulitan membacanya tanpa harakat, apalagi tanpa adanya titik untuk membedakan huruf-hurufnya yang serupa. Mungkin cukup sekian, semoga bemanfaat!


Tulisan ini disarikan dari Diktat Ilmu Ashwat Tingkat 1 Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Kairo


Penulis: Moh. Kafanal Kafi

Editor: Ah. Nasi'in Najib 

Previous Post Next Post