Revitalisasi Penggunaan Bahasa Daerah



Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk menyapa ayah melalui layar telepon genggam. Melalui layar ajaib yang menghubungkan wajah kami berdua, kami bercerita banyak hal menggunakan bahasa yang campur aduk layaknya bubur ayam. Di tengah percakapan tersebut, tiba-tiba saja ayah mengucapkan sepenggal kata Jawa kromo yang tidak begitu saya pahami maknanya. Saya pun bertanya, dan ayah kemudian menanggapi dengan berkata, “Wong nom ya, wes do mulai lali karo bahasane dewe” (anak muda ya, sudah mulai lupa dengan bahasanya sendiri). Seketika hal ini membuat saya berfikir, apakah sikap ini menunjukkan mulai terkikisnya identitas Jawa dalam diri saya?

Sebelum mencari tahu lebih dalam perihal keresahan yang saya atau mungkin kebanyakan orang lain rasakan, agaknya kita perlu lebih dulu mencari tahu mengenai pemaknaan dari identitas itu sendiri. Identitas merupakan suatu ciri khas yang menunjukkan pada karakter atau pembawaan setiap individu atau suatu kelompok tertentu. Pada umumnya, identitas telah melekat dalam diri seseorang sejak lahir. Sehingga saat berinteraksi dengan manusia lain, identitas ini akan menjadi semacam penghubung yang kemudian membentuk pola khusus dalam mendefinisikan seseorang atau pun kelompok tertentu. Proses interaksi ini juga berkaitan erat dengan komunikasi dan penggunaan bahasa. Oleh sebab itu, bahasa termasuk salah satu identitas dari sebuah kelompok masyarakat.

Dalam kehidupan berbangsa, bahasa jadi salah satu elemen penting dalam merepresentasikan identitas sebuah bangsa. Pun halnya dengan Indonesia. Keberagaman bahasa yang dimiliki negara kita membuatnya dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya. Kekayaan dan keberagaman ini lah yang lantas membentuk identitas bangsa Indonesia yang terangkum dalam semboyannya, ”Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda namun tetap satu jua). Hal ini mempunyai arti bahwa meskipun Indonesia mempunyai banyak sekali perbedaan ras, bahasa dan budaya, namun perbedaan tersebut bukanlah penghalang untuk menjadikan Indonesia sebagai satu kesatuan.

Membincang tentang kebudayaan, Antropolog Koentjoroningrat telah membaginya menjadi kebudayaan lokal dan kebudayaan nasional. Adapun kebudayaan lokal adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sekelompok manusia yang sadar akan identitasnya dalam persatuan suatu daerah. Budaya lokal ini muncul ketika sekelompok daerah mempunyai pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga membedakan mereka dari daerah lain. Hubungan antar budaya lokal satu dengan budaya lokal lain ini lah yang kelak akan membentuk satu kesatuan yang kemudian disebut sebagai kebudayaan nasional.

Pada dasarnya, budaya nasional merupakan sumbangsih dari beberapa budaya lokal yang berasal dari daerah yang berbeda, namun memiliki beberapa kesamaan. Misalnya, kita sebagai warga Indonesia. Meskipun berasal dari berbagai suku dan daerah yang berbeda, namun bersama-sama kita menyadari bahwa kewarganegaraan Indonesia merupakan bagian dari identitas kita. Sama halnya dalam hal berbahasa. Meskipun setiap daerah memiliki bahasa lokalnya masing-masing, namun bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang telah diakui dan menghubungkan seluruh warga Indonesia.

Baca juga: Kegilaan Pidi Baiq Seniman Nyleneh

Kendati demikian, seiring berkembangnya zaman, semakin jarang kita temui penggunaan bahasa daerah di kalangan anak muda, bahkan walau mereka bicara dengan orang-orang yang berasal dari daerah yang sama. Lantas, apakah fenomena ini menandakan mulai tergerusnya identitas lokal di kalangan generasi muda seperti keresahan saya di muka? Sebaliknya di sisi lain, kita juga sepakat perihal adanya bahasa Indonesia sebagai identitas nasional kita. Dalam hal ini, seperti apa porsi yang harus ditetapkan agar dapat merawat pelestarian budaya lokal dan budaya nasional secara seimbang?

Fenomena ini mengingatkan saya pada prinsip “al-Muhaafadzatu alaa al-Qadiimi as-Shaliih wa al-Akhdu bii al-Jadiidi al-Ashlahi” yang berarti menjaga tradisi lama yang masih baik, dan mengambil budaya baru yang lebih baik. Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin pernah berpendapat bahwa kaidah ini menuntut adanya keseimbangan antara merawat tradisi yang sudah ada dan upaya inovasi dalam mengolaborasikan antara tradisi lama dengan budaya baru. Dalam konteks ini, tradisi lama yang dimaksud adalah budaya lokal atau bahasa daerah yang sudah kita kenal sejak kecil, sementara budaya baru ialah kebudayaan atau bahasa nasional yang setiap hari kita pelajari di bangku sekolah hingga saat ini.

Saat kita kecil, orang tua akan berbicara dan mengajarkan kita menggunakan bahasa daerah setempat yang kita tinggali. Pun halnya saat kita tumbuh dan mulai berinteraksi dengan masyarakat dengan latar belakang yang sama, kita akan berbicara menggunakan bahasa daerah yang sudah saling kita kenal. Merujuk kaidah di atas, hal ini dapat diartikan sebagai maksud dari “al-Qadiim”. Namun, seiring berkembangnya usia dan zaman, lingkungan yang kita tinggali tentu akan lebih majemuk dan heterogen. Kita akan mulai menemukan banyak orang dengan corak dan kultur yang berbeda. Sehingga saat berkomunikasi, kita akan cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Di sini, bahasa Indonesia akan mengisi makna “al-Jadiid”. Tersebab, lingkungan baru yang kita pijaki bukan lagi lingkungan dengan kultur yang sama sehingga kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia akan lebih mendominasi.

Selain konstekstualisasi dari konsep di atas, pelestarian budaya merupakan hal urgen yang perlu disadari masyarakat. Setidaknya, terdapat dua cara yang dapat kita upayakan dalam merealisasikan hal ini. Pertama, Culture Knowledge. Dengan mempelajari dan mengetahui secara teoritis tentang esensi dari suatu budaya, kita dapat melestarikan budaya tersebut dengan menumbuhkan rasa kepemilikian yang kuat dalam diri kita. Kedua, Culture Experience. Selain menumbuhkan rasa kepemilikan, kita juga dapat berpartisipasi dalam melestarikan suatu budaya dengan mempraktikannya dalam keseharian. Semisal, ketika kita sedang berada dalam satu forum yang semuanya berasal dari latar belakang budaya dan bahasa yang sama, maka alangkah baiknya apabila kita menggunakan bahasa daerah sebagai bentuk komunikasi antar sesama.

Walakhir, melestarikan dan tetap nguri-nguri bahasa daerah sebagai bahasa lahir adalah amanat dan kewajiban setiap dari kita. Dengan memiliki rasa cinta dan kepemilikan terhadap bahasa daerah tersebut, tentu kesadaran dan rasa kepemilikan ( Sense of belonging) mengenai identitas lokal yang melekat pada diri kita akan semakin meningkat. Tersebab, sebuah identitas tidak akan hilang apabila kita selalu memiliki kesadaran bahwa kita adalah bagian dari budaya itu sendiri.


Penulis: Farah Fauzia Hasan

Editor: Wilhanul Haq

Previous Post Next Post