Masyarakat Mesir merupakan salah satu masyarakat yang menyukai mengenai perayaan, salah satunya yaitu perayaan hari-hari besar di Mesir. Jika dilihat dari sejarahnya, kebiasaan masyarakat Mesir saat ini tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat dahulu. Jadi, tidak mengherankan jika Mesir dinobatkan sebagai negara yang sangat banyak akan tanggal merahnya.
Mesir merupakan salah satu negara mayoritas muslim, posisi tersebut menempati 80 juta muslim atau 90% dari penduduk keseluruhan. Maka dari itu, di setiap kesempatan hari-hari besar umat Islam, masyarakat Mesir mencoba menyambut dengan meriah dan seksama, salah satunya adalah perayaan Ramadhan.
Tak hanya di Indonesia yang memiliki tradisi yang berbeda-beda di setiap Ramadhan, seperti Munggahan di Sunda, Mesir juga memiliki tradisi di kala Ramadhan. Karena Ramadhan hanya terjadi satu kali dalam satu tahun, para muslim di Mesir mencoba mengabadikan momentum ini dengan sebaik-baiknya. Salah satu tradisi bulan Ramadhan adalah munculnya Fanus.
Lampu fanus atau lampion secara bahasa diambil dari bahasa Yunani Funos yang artinya keabadian. Cerita fanus ini di mulai ketika Muiz Liddinillah datang ke Mesir untuk pertama kalinya bertepatan di hari kelima bulan Ramadhan, karena keadaan yang sangat gelap, pejabat militer memerintahkan penduduk setempat untuk memegang lilin di jalanan yang gelap. Pada masa itu, model fanus bukan seperti yang sekarang, yang terdiri dari lilin semata. Kemudian, adanya perkembangan zaman memodif lilin-lilin itu dengan bingkai kayu agar tidak meleleh dan melukai.
Selain dari asal-usulnya, fanus ini bukan sekadar lampion semata, juga mempunyai sisi filosofis, karena tujuan fanus yang awalnya sebagai penerangan di jalan yang gelap, akhirnya beralih fungsi menjadi lampu khas Ramadhan. Fanus juga dijadikan simbol harapan bagi masyarakat muslim Mesir, agar cahaya fanus dapat menerangi di kehidupan akhirat.
Di lihat dari sisi arsitekturnya, fanus memiliki ciri khas yang berbeda dari lampion lainnya. Ukiran kayu yang berada dipinggiran menggambarkan corak khas Timur-Tengah. Kemudian warna lampu yang bermacam-macam atau warna-warni yang menggambarkan rasa bahagia masyarakat Mesir akan datangnya bulan Ramadhan. Jika dihidupkan, cahaya yang berasal dari fanus menghasilkan efek bayangan yang artistik.
Seiring beriringan waktu, fanus menjadi lebih berfariatif dengan ukiran dan warna yang beragam. Para seniman ini mengerjakan fanus selama satu tahun sebelumnya, dengan mempertahankan keunikan fanus. Kemudian, menjelang Ramadhan, fanus baru diperjual-belikan. Karena kelangkaan inilah, yang membuat fanus ini terasa lebih istimewa, karena hanya bisa didapat ketika momentum saja.
Baca juga: Ramadan di Negeri Seribu Menara
Jika kalian berjalan-jalan ke Mesir, mata kalian akan dijajakan oleh gemerlapnya fanus di setiap sudut-sudut kota, tenda-tenda di pinggir jalan dengan corak khas Timur-Tengah menjajakan segala macam fanus dengan berbagai macam, corak dan ukuran. Kemudian, di sepanjang gang dihiasi fanus dengan rumbai-rumbai plastik warna-warni. Tak hanya itu, gemerlapnya fanus juga terlihat di flat-flat, jadi tidak mengherankan jika sudut-sudut rumah terdapat fanus. Bahkan Khalifah Muiz Liddinilillah sendiri yang meletakkan fanus dipelataran Masjid al-Azhar.
Tradisi ini bukan hanya diikuti para orang dewasa saja. Anak-anak juga tidak mau ketinggalan, mereka berkeliling dengan membawa fanus di kala sahur maupun berbuka. Hal demikian yang menggambarkan rasa bahagia dan bersyukur telah datangnya Ramadhan.
Demikianlah tradisi menyambut Ramadhan yang dilakukan oleh masyarakat Mesir. terlepas dari apa itu hukumnya, masyarakat Mesir percaya bahwasannya Ramadhan adalah bulan yang agung, di mana suatu keistimewaan bagi mereka karena bertemu dengan Ramadhan. Maka dari itu, Ramdahan harus disambut dengan perasaan yang bahagia.