Isra dan Mikraj (ll)


Pagi hari setelah Rasulullah kembali dari perjalanan Isra dan Mikraj, beliau menceritakan apa yang beliau saksikan. Alih-alih percaya, justru penduduk Makkah mengingkari apa yang telah disampaikan Rasulullah. Baginya tidak logis melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsa dalam satu malam saja. Di tengah-tengah pengingkaran, mereka meminta Rasulullah untuk menjelaskan secara konkret bagaimana bentuk Masjid Al-Aqsa.

Disebutkan dalam kitab ”Fath Al-Bârî” bahwasanya Rasulullah sempat merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, berkat pertolongan Allah SWT Rasulullah diperlihatkan kembali bentuk Masjid Al-Aqsa. Sehingga beliau mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan penduduk Makkah. Meski Rasulullah fasih menjawab pertanyaan-pertanyaan tesebut dan menjawab sesuai dengan faktanya. Namun, hal tersebut tidak menggoyahkan keingkaran mereka.

Beberapa tokoh musyrik Makkah, berbondong-bondong mendatangi Abu Bakar As-Shiddiq. Mereka mencoba mengonfirmasi kabar yang disampaikan oleh Rasulullah. Perjalanan dari Makkah menuju Masjid Al-Aqsa dengan menaiki unta biasanya memang ditempuh selama sebulan. Namun Rasulullah mengalami sebuah kejadian yang unik dan irasional. Beliau bisa menempuh perjalanan -- yang umumnya dilakukan selama sebulan -- hanya dalam waktu satu malam saja.

“Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu mengenai kawanmu yang mengaku-ngaku telah melakukan perjalanan ke Bait Al-Maqdis dalam satu malam?.” Abu bakar menjawab, “Apakah dia berkata demikian?.” “Ya”, timpal orang musyrik. Lantas Abu Bakar menjawab dengan jawaban tegas, “Kalau begitu, berarti dia benar-benar telah melakukannya.” Tak puas mendengar jawaban itu, mereka kembali melemparkan pertanyaan. “Abu Bakar, apakah engkau akan membenarkan orang yang mengaku pergi ke Bait Al-Maqdis dalam semalam?. Lalu dia telah kembali saat pagi datang?.” Abu Bakar menegaskan jawabannya kembali “Bahkan jika dIa (Muhammad) pergi ke tempat yang lebih jauh, aku akan membenarkannya. Aku akan memercayai kabar langit yang mengatakan bahwa dia telah pergi antara pagi dan malam hari.”

Dari dialog di atas, kita dapat mengetahui keteguhan iman Abu Bakar atas agamanya. Ia akan membenarkan setiap kabar yang disampaikan oleh Rasulullah. Karena keteguhan keimanannya, sebagian ulama menyatakan bahwa julukan As-Shiddiq disematkan karena ia telah memercayai dan membenarkan berita Isra dan Mikraj.

Abu Bakar As-Shiddiq adalah seorang sahabat Rasulullah yang masuk dalam kategori As-ssâbiqûn al-awwalûn (orang-orang yang paling awal masuk Islam). Bahkan ia adalah laki-laki dewasa yang pertama kali memeluk Islam. Abu Bakar adalah orang yang menemani perjalanan hijrah Rasulullah ke Madinah.

Cendikiawan muslim ahli hadis, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam kitabnya “Nukhbah Al-Fikr”, mendefinisikan sahabat sebagai orang-orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah, pernah duduk (berkumpul) dengannya, baik lama maupun sebentar. Tanpa memandang apakah ia pernah meriwayatkan Hadis atau tidak. Begitu Juga tanpa memandang apakah ia pernah berperang bersama Nabi atau tidak. Barang siapa yang pernah melihat Nabi walaupun ia tak pernah duduk bersamanya, dan wafat dalam keadaan beragama Islam, maka dia termasuk kedalam kategori sahabat.

Predikat Sahabat tidak hanya berarti orang-orang tersebut hidup sezaman dan pernah bertemu dengan Rasulullah. Namun, Predikat Sahabat juga berarti bahwa orang-orang tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Imam Al-Haitsami menyebut sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah dalam “Majma’ Az-Zawâid”:

إن الله اختار أصحابي على العالمين سوى النبيين والمرسلين

“Sesungguhnya Allah selain memilih para nabi dan rasul, (juga) sahabat-sahabatku.”

Sahabat adalah orang-orang paling istimewa setelah para nabi dan rasul. Baik di masa lampau maupun di masa depan. Dalam kitab Sahih al-Bukhari disebutkan, Rasulullah Saw bersabda:

لا تسبوا أصحابي, فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku, karena jika kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, Itu tak akan menyamai satu mud (sedekah) para sahabat. Bahkan tak menyamai setengahnya.”

Penulis mengonfirmasi pemahaman Hadis ini kepada salah satu gurunda, Syaikh Mahmud Abidin, (seorang pengajar di lingkungan Al-Azhar yang berfokus terhadap diskursus teologi). Lantas penulis bertanya: “Wahai Syaikh, kenapa para sahabat lebih baik daripada kita yang hidup pada zaman sekarang. Diluar sana ada orang yang berusia lebih dari 100 tahun. Bukankah orang itu berpotensi melakukan amal yang lebih banyak?.” Beliau menjawab: “Ya, di luar sana memang banyak orang yang berusia panjang. Secara logika, dia berkemungkinan melakukan amal lebih banyak. Namun kita juga perlu bertanya apakah seluruh umurnya ia dedikasikan untuk beribadah kepada Allah? Jika iya, ia terlihat beramal, apakah amalnya benar-benar tulus karena Allah?. Dan apakah kita berani mengklaim bahwa kita lebih baik dari seseorang yang menemani perjalanan berbahaya dari Makkah ke Madinah?. Apakah kita pernah bersembunyi di dalam gua yang sempit lalu digigit ular?. Apakah kita pernah pergi berperang?. Apakah kita berani merelakan seluruh harta yang kita senangi?.”

Jamak diketahui bahwa jumlah sahabat amatlah banyak. Sebagian mereka adalah kaum Muhajirin yang setelah mengalami persekusi di Makkah. Mereka nelakukan pejalanan jauh nan melelahkan ke Madinah, berpisah dengan kampung halaman tercinta dan memulai kehidupan baru. Sebagian mereka adalah kaum Ansar yang luar biasa dermawan. Sebagian mereka adalah orang-orang yang ikut perang. Bertaruh nyawa dan bermandikan luka dan darah. Sebagian mereka menghabiskan umurnya untuk membersamai Rasululla, mendedikasikan umurnya untuk menjadi penulis wahyu, menghafal dan meriwayatkan Hadis. Setelah itu semua, pertanyaan yang terbesit selanjutnya adalah siapa yang paling mulia di antara para sahabat?. Syaikh Ibrahim Al-Laqoni menyatakan dalam “Jauharah At-Tauhîd”:

وخيرهم من ولي الخلافة # وأمرهم في الفضل كالخلافة

“Yang terbaik diantara para sahabat adalah para Khalifah (al-Khulafa’ ar-Rasyidun)

Dan urutan keutamaan (antara mereka) seperti urutan Khalifah.”

Imam Ibrahim Al-Bajuri menegaskan bahwa kelompok Ahlussunnah wal Jamaah mengurutkan keutamaan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun sesuai dengan urutan kepemimpinan khilafah, yaitu khalifah Abu Bakar, khalifah Umar bin Khattab, khalifah Utsman bin Affan, kemudian khalifah Ali bin Abi Thalib. Beliau juga mengutip sebuah pernyataan dari Ibnu Umar, “Suatu ketika kami sedang bersama Rasulullah seraya mendengar: yang terbaik diantara umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman, lalu Ali. Dan beliau melarang (kami mengatakan itu).”

Terakhir, penulis mengutip tulisan ini dengan sepenggal doa dari bait yang termaktub dalam kitab Maulid Ad-Diba’i.

رب فانفعنا ببركتهم # واهدنا الحسنى بحرمتهم

“Wahai Tuhanku, berilah kami kemanfaatan sebab keberkahan mereka.

Dan tunjukkanlah kami kebaikan sebab kehormatan mereka.”

وأمتنا في طريقتهم # ومعافة من الفتن

“Dan wafatkanlah kami di jalan mereka.

Serta selamatkan kami dari berbagi fitnah.”

Penulis: Burhanul Umam
Editor: Nur Iman Mundzir


Previous Post Next Post