Bolehkan Perempuan Safar Tanpa Mahram?



Memasuki zaman modern, beberapa aspek kehidupan juga mengalami kemajuan dan perkembangan demi menghadapi tuntutan zaman. Sarana pra sarana, fasilitas umum seperti transportasi dan media saling beriringan dalam mengikuti arus perkembangan zaman. Semakin pesatnya perkembangan dunia, tentu membuktikan bahwa pendidikan manusia semakin tinggi sehingga semakin bagus pula peradabannya.

Berangkat dari maqolah “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina”, tentu memotivasi para pemuda untuk giat dalam mencari ilmu setinggi-tingginya dan sejauh-jauhnya. Apalagi menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, di lain sisi, pergerakan perempuan terbatas dengan adanya mahram ketika di luar rumah. Lantas, bolehkah perempuan melanjutkan pendidikan pada jangkauan yang luas tanpa bersama mahram?

Pada dasarnya, hukum asal safar bagi perempuan ini bermula dari sebuah hadis, “Tidak diperbolehkan bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim). Kemudian hadis tersebut menghasilkan hukum wajib, sunnah dan mubah mengenai perempuan ketika ke luar rumah.

Dalam realitasnya, fukaha terbagi menjadi dua pandangan dalam menanggapi safarnya perempuan. Pertama, mayoritas fukaha mengharamkan, hanya diperbolehkan untuk hal yang wajib atau mendesak, seperti haji, karena termasuk dalam salah satu rukun Islam. Kedua, memperbolehkan, baik safar wajib, sunnah seperti berkunjung silaturrahmi kepada keluarga dan mubah, keperluan yang melibatkan pekerjaan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samuroh ra. dalam Musnad al-Bazzar, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

{يوشك أن تخرج الظعينة من المدينة إلى الحيرة لا تخاف أحدا}

Artinya: “Seorang perempuan mulai pergi keluar dari kota Madinah menuju kota al-Hirah tanpa rasa takut kepada siapapun.” (HR. Al-Bazzar).

Dalam kaidah fikih, mengatakan, “perkara yang diharamkan secara dzat-nya tidak dapat dihalalkan kecuali oleh keadaan darurat (terpaksa) seperti bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan perkara yang diharamkan karena wasilah, maka ia menjadi halal karena ada kebutuhan atau maslahat yang kuat mengalahkan mafsadah”. Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang mengharamkan safar perempuan tanpa mahram dikhawatirkan mendatangkan bahaya tersendiri (saddu dzara’i).

Baca juga: Sekapur Sirih tentang Maqashid Syarîah

Sebagian ulama kontemporer mengomentari hal tersebut dengan mengatakan bahwa hikmah dari pensyaratan mahram dalam safar perempuan adalah demi menjaga perempuan dari marabahaya yang ada di zaman dahulu. Sedangkan tidak untuk zaman saat ini, karena adanya kemudahan akses dan terjaminnya keamanan. Bahkan Rasulullah saw. tidak melarang safar perempuan tanpa mahram secara mutlak, beliau bersabda, “sehari semalam”, dalam riwayat lain tiga hari maka tidak ada larangan mutlak safar tanpa mahram, tetapi diperbolehkan.

Kesimpulannya, selama memungkinkan safar dengan mahram (suami/saudara) maka itu lebih utama demi menjamin keamanan seorang perempuan, ini berlaku sepanjang waktu, masa, dan tempat, terlepas dari perbedaan yang ada. Begitu juga ketika memang ada kebutuhan untuk yang mendesak, maka diperbolehkan mengambil rukhshoh dengan pendapat yang memperbolehkan. Dar  al-Ifta, sebagai lembaga fatwa Mesir memperbolehkan secara mutlak safarnya perempuan, selama keamanan terjamin dan dalam ranah ketaatan.

Penulis: Rina Yusrina Hamidah

Editor: Lum'atul Badril Hidayah

Previous Post Next Post