Urgensi Maqashid Syariah dalam Beristinbat
Pada mukadimah buku karya Dosen
Pembantu Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo, Dr.
Majdi Hasan Abul Fadl, beliau melegitimasi Maqashid Syariah
sebagai salah satu ilmu yang penting
untuk digunakan dalam beristinbat. Di sana beliau menukil pendapat beberapa
ulama untuk memperjelas letak urgensi Maqashid Syariah dalam beristinbat, di antaranya Imam Al-Ghazali, As-Subki, Asy-Syathibi dan Muhammad Abdullah Durraz.
Urgensi Maqashid Syariah menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai kiblat bagi seorang
mujtahid atau dapat dikatakan sebagai niat, alasan atau tujuan dalam
beristinbat. Kemudian kesimpulan dari pendapat Imam As-Subki secara implisit
menempatkan posisi Maqashid Syariah sebagai syarat yang harus dimiliki
oleh mujtahid. Sedangkan Imam Asy-Syathibi secara jelas menyebutkan bahwa
mayoritas titik kesalahan dari seorang mujtahid adalah tidak melibatkan bahkan
tidak mengetahui Maqashid Syariah sebagai faktor penting dalam
beristinbat. Bahkan Muhammad Abdullah Durraz menempatkan posisi menguasai Maqashid Syariah sebagai rukun kedua dari dua rukun beristinbat setelah menguasai Lisan Al-Arab.
Definisi Maqashid Syariah
Secara etimologis, Maqashid Syariah terdiri dari dua akar kata, yaitu Maqashid dan Syariah. Kata Maqashid berasal dari kata Bahasa Arab Maqâshid yang merupakan bentuk plural dari kata Maqshad dan bentuk turunan dari kata Qashada yang memiliki beberapa makna, yaitu: berpijak, bertolak ke suatu tujuan dengan sengaja dan tawasut. Adapun Syariah berasal dari kata Syarî’ah yang diambil dari akar kata Syara’a – Yasyra’u – Syir’atan, yang secara leksikal memiliki arti: jalan yang mengantarkan ke tempat pengairan. Dari pengertian secara etimologis ini, ketika digabungkan maka akan memiliki arti: beberapa pijakan atau titik tolak yang dijadikan landasan atau jalan untuk menuju sesuatu.
Adapun secara terminologis, Maqashid Syariah memiliki perspektif yang beragam terutama dari ulama-ulama
kontemporer. Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai tujuan atau puncak keberhasilan yang hendak direalisasikan oleh setiap
atau sebagian besar sisi syariat yang diturunkan. Sementara Dr. Abdullah bin
Bayah mendefinisikan Maqashid Syariah lebih lengkap sebagai tujuan atau
nilai-nilai universal dan parsial yang dipahami dan digali dari nas syariat
beserta hikmahnya, yang di dalamnya mengandung kemaslahatan bagi umat Islam.
Baca juga: Diskrepansi Istihsan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
Topik Utama dan Kerangka Pembahasan Maqashid Syariah
Ciri mendasar dari topik yang dibahas
oleh Maqashid Syariah adalah suatu diskursus yang intens
membahas indikator-indikator yang terkandung secara implisit oleh nas. Kemudian
disimpulkan oleh ulama dalam ijtihadnya sebagai maksud atau niat Tuhan yang
hendak direalisasi dalam menurunkan syariat kepada manusia.
Adapun kerangka
pembahasan Maqashid Syariah adalah sebagai berikut :
- Premis-premis dasar Maqashid Syariah;
- Beberapa mazhab dalam Maqashid Syariah;
- Standarisasi Maqashid Syariah;
- Macam-macam Maqashid Syariah;
- Cara menemukan Maqashid Syariah;
- Dasar-dasar dalil keabsahan Maqashid Syariah;
- Kaidah-kaidah Maqashid Syariah (sebagaimana dalam kaidah
fikih);
- Istinbat hukum melalui Maqashid Syariah.
Faedah Mengetahui Maqashid Syariah
- Mengubah pola pikir dari hanya sekadar bertukar maklumat dan
menghafalkannya menjadi sebuah pengembangan dan analisa maklumat guna
menemukan ide kebaruan;
- Mengasah kemampuan dan ketelitian dalam beristinbat;
- Menggerus persoalan jumud dalam berfikih dan radikalisme
beragama yang problematik;
- Menentukan pendapat yang tepat dan sesuai untuk kondisi dan
zamannya dari berbagai pendapat yang ada dalam suatu persoalan;
- Membentuk urutan skala prioritas yang tepat sesuai kebutuhan
zaman dan kondisi dalam suatu persoalan.
Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Sebenarnya konsep dasar Maqashid Syariah telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. dalam setiap perbuatan, fatwa dan
nasihat beliau kepada para sahabatnya. Para sahabat tentu memperhatikan setiap sisi perilaku Rasulullah
saw. yang mengandung konsep dasar Maqashid Syariah. Kemudian sisi-sisi Maqashid Syariah diteruskan penerapannya oleh para sahabat untuk menjawab persoalan zamannya. Di
antara contohnya yaitu: pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an dan perang melawan
kaum murtad oleh Khalifah Abu Bakar RA; serta penghentian bagian zakat bagi
para mualaf dan hukuman kisas bagi seluruh anggota kelompok yang terlibat dalam
pembunuhan seorang muslim oleh Khalifah Umar bin Khattab RA.
Setelah masa sahabat yang masih berupa
bagian aplikatif dalam fatwa, muncul para ulama yang berusaha menuangkan
ide-ide Maqashid Syariah untuk ditulis dalam naskah. Ulama
pertama yang sedikit menyinggung Maqashid Syariah adalah Imam Ibrahim an-Nakha’i
(47-96 H) dengan sebutan "maslahat". Kemudian dilanjutkan oleh
al-Hakim at-Turmudzi (w. 320 H), seorang fakih dan sufi. Beliau menjadi orang
pertama yang menggunakan istilah "Maqashid"
dalam karyanya kitab al-Shalâtu
wa Maqâshiduhâ.
Sebelum abad ke 5 Hijriah, para ulama masih hanya menyebutkan soal adanya Maqashid dalam maknanya yang luas tanpa menuliskan standar atau regulasi secara rinci.
Baca juga: Eksistensi Quraish Shihab dan Perannya Di tengah Kelompok Muslim yang Sering Berseteru
Perkembangan Maqashid Syariah mulai menyentuh tahap kodifikasi setelah abad ke 5, yang diinisiasi oleh Imam
Haramain (w. 478 H) dalam al-Burhân
dan Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam al-Mustashfâ. Dua karya itu masih menempatkan
regulasi Maqashid Syariah dalam satu pembahasan dalam ushul
fikih, misalnya masuk dalam pembahasan "al-Munâsib al-Mursal fî Qiâs"
di kitab al-Burhân.
Pada akhirnya, Maqashid Syariah mulai memiliki ruang pembahasan tersendiri dalam Muwâfaqât-nya Imam al-Syathibi (w. 790 H).
Di era kontemporer, ulama-ulama mulai
memberikan ide-ide regulasi Maqashid Syariah secara utuh dalam satu karya. Di
antaranya adalah Syekh Muhammad at-Thahir bin Asyur dalam Maqâshid asy-Syarî’ah al-Islâmiyah,
kemudian disusul oleh sahabat beliau sendiri yaitu Syekh ‘Ilal
al-Fasi dalam Maqâshid
asy-Syarî’ah wa Makârimuhâ.
Sifat Kajian Maqashid Syariah
Maqashid Syariah erat kaitannya
dengan pembahasan ushul fikih dalam rekam aplikasi dan kodifikasinya oleh para
ulama. Dalam perkembangannya tepatnya di masa Syekh Muhammad at-Thahir bin
Asyur, Maqashid Syariah mulai dinyatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri. Kondisi Maqashid Syariah di awal masa perkembangannya sama seperti ilmu-ilmu lainnya yang masih lemah.
Perluasan ide-ide baru secara utuh akan datang melengkapi setelah melewati masa
yang panjang, hingga mampu menjadi ilmu tersendiri yang memiliki struktur
regulasi yang jelas.
Akan tetapi, alasan itu ditolak. sebab
jika alasan demikian diterima, maka pembahasan ijtihad, kias dan bab lainnya
yang memiliki porsi pembahasan di bab tersendiri dalam ushul fikih akan
dianggap sah menjadi ilmu yang mandiri dan nantinya terlepas dari ilmu ushul
fikih.
Penulis: Nabil Fikri
Editor: Muzamil Zahwa