Dua Ideologi Ekstrimisme yang Mengakar di Masyarakat


Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Senin (14/08), Densus 88 menangkap DE (28) sebagai tersangka atas penyerangan terhadap Mabes TNI. Setelah dilakukan penyelidikan secara intensif, pelaku melakukan aksi tersebut lantaran terinspirasi dari aksi pemberontakan teroris yang terjadi di Mako Brimob, Kepala Dua, Depok, Jawa Barat. Selain itu, polisi juga menemukan 16 macam senjata api dengan berbagai jenis di dalam tasnya. Setelah ditelisik lebih lanjut, DE merupakan golongan dari ISIS. Selama beberapa minggu terakhir, DE juga menyebarkan akidah-akidah yang radikal melalui sosial media.

Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, negara Mesir juga pernah mengalami kejadian tersebut. Tepatnya pada (21/07/2020), semenanjung Sinai Utara mengalami pergolakan, militer Mesir menyatakan berhasil membunuh 18 tersangka dan mengamankan empat mobil, tiga di antaranya berisi senjata tajam dan bom ledakan. Setelah ditelusuri, mereka merupakan bagian dari ISIS, bahkan mereka melancarkan serangannya di tempat ibadah seperti di masjid-masjid.

Dari dua kejadian yang berbeda di atas, ada satu hal yang menjadi kesamaannya, yaitu pemahaman mereka akan ajaran Islam yang sesuai dengan ISIS. Jika kita runutkan, tindakan terorisme tersebut bersumber dari kekeliruan dalam memahami al-Quran dan Sunnah. Dengan pemahaman itu, begitu mudahnya mereka menghakimi seseorang yang berbeda dengan dirinya sebagai kafir. Mereka beranggapan bahwasannya seorang kafir wajib dibunuh dan bentuk dari jihad yang agung ialah menghilangkan nyawanya. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam ideologi mereka ini.

Pertama, paham hakimiah. Paham ini merupakan paham yang menggaungkan pemilik hukum hanya pada Allah mutlak. Pemahaman tersebut berakhir memutlakkan Allah sebagai hakim tanpa adanya ijma atau ra’yu dari para sahabat maupun ulama. Hal tersebut selaras dengan nas-nas yang termaktub dalam Al-Qur’an, ‘’Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim,’’ (Q.S Al-Maidah: 44-45).

Paham hakimiah sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Jauh sebelumnya, ideologi hakimiah juga diimani golongan Khawarij, di mana mereka tidak setuju bahwa Ali bin Abi Thalib melibatkan manusia dalam hukum perundang-undangan negara. Bagi mereka, hal tersebut cacat secara akidah, karena Allah adalah satu-satunya pemilik hukum secara mutlak.

Kemudian paham ini muncul kembali di abad 20 M karena adanya gerakan-gerakan jihad untuk memerdekakan negara dari penjajahan. Mereka memobilisasi masyarakat dengan memberikan simbol agama hakimiah dan penafsiran ayat hakimiah lewat bahasa, retorika, khotbah Jumat, seminar dan berbagai media. Satu abad setelahnya, pemahaman yang benar mengenai Islam berubah menjadi pemahaman yang keliru oleh kalangan awam umat muslim dan kekeliruan tersebut tidak mudah dikembalikan seperti semula.

Salah satu tokoh fenomenal di Mesir yang menjunjung tinggi ideologi hakimiah adalah Hasan al-Banna. Hasan al-Banna merupakan pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir (IM) yang merupakan gerakan politik atas dasar akidah Islam. Politik menurut golongan ini termasuk ajaran pokok Islam, mereka mengusung ajaran Islam sebagai langkah politik dalam perbuatan dan reformasi. Dalam memahami politik, mereka mempunyai gagasan yang berbeda dengan apa yang dianut salaf saleh.

Ideologi yang diusung Hasan al-Banna dengan manuvernya menonjolkan di segala sisi, politik salah satunya. Tidak hanya itu, beliau juga mengusung bahwa undang-undang suatu negara harus menggunakan al-Quran dan Sunnah. Hal ini juga sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran. ‘Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik’. (Q.S Al-Maidah: 49).

Sedangkan menurut salaf saleh atau Sunni-Azhari, mereka memahami politik dan agama bukanlah suatu hal yang bertentangan, dan masalah politik juga bukan termasuk ajaran pokok dalam Islam. Akan tetapi, pembahasan politik masuk ke dalam ranah fikih yang memungkinkan adanya ijtihad untuk kemaslahan umat sesuai dengan zaman dan waktunya. Bagi mereka, Islam memiliki standar prinsip dasar sebagai landasan ijtihad. Oleh karena itu, mereka mengamini bahwa politik merupakan alat untuk beragama, hanya sebatas wasilah untuk menciptakan ketentraman dan kemaslahatan dalam masyarakat.

Kedua, takfiri. Takfiri merupakan sebuah ajaran di mana seseorang dengan mudahnya memberi legitimasi kafir terhadap orang-orang yang betentangan dengannya. Menurut Abi Abdillah al-Dihbi, problematika takfiri bukan hanya terjadi pada zaman saat ini, penisbatan kafir sudah dimulai sejak 36 H, yang sering diperuntukkan orang-orang Khawarij—mereka yang keluar dari golongan Ali bin Abi Thalib—kepada yang tidak sependapat dengannya.

Ideologi hakimiah sangat erat kaitannya dengan takfiri. Hakimiah merupakan sebuah ideologis mengenai pemahaman bahwa tidak adanya hukum kecuali Allah semata. Kemudian, ideologi hakimiah yang tertanam membangunkan hasrat untuk direalisasikan menjadi sebuah realitas dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, jika seseorang sudah memiliki ideologi sendiri, atau pemahaman radikal, kemudian mereka melihat umat muslim yang tidak sejalan ideologinya, maka dihukumi ke dalam golongan kafir, karena sudah tercantum dalam nas-nas agama yang mereka tafsirkan.

Namun, Imam al-Ghazali menolak pernyataan tersebut karena menurutnya batasan perihal kafir membutuhkan penjelasan yang panjang serta samar. Imam al-Ghazali sendiri memberikan garis yang menghantarkan kepada pemahaman konkret tentang kafir, yaitu selama seseorang masih berpegang teguh pada kalimat ‘Laa ilaaha illaa Allah, Muhammad Rasuulullaah’, dan membenarkan ajaran-Nya tanpa memunculkan pertentangan, maka dikatakan beriman. Karena keimanan berarti membenarkan dan mempercayai apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kafir berarti mengingkari sesuatu yang menjadi pondasi ajaran agama.

Mengenai dua ideologi di atas, al-Azhar sebagai role model dalam keberislaman umat muslim menolak dengan keras dua ideologi di atas. Untuk itu, Azhar sering menggaungkan Islam yang rahmatan lil alamin atau  Islam datang sebagai rahmat bagi umat Islam. Di era yang semakin maju dan problematika semakin berkembang ini, Azhar tetap eksis menampakkan Islam yang rahmatan lil alamin melalui beberapa cara, salah satunya yaitu adanya mengadakan seminar-seminar baik berskala kecil maupun besar, tua maupun muda. Selain itu, melalui media sosial, baik Azhar maupun Dar al-Ifta sering memberikan maklumat-maklumat mengenai Islam yang sesuai dengan salaf saleh.

Penulis: Lum'atul Badril Hidayah

Selengkapnya, sila baca di dalam Buku Kajian IKAMARU RAM "Fenomena Paradigma Ekstremisme; Sudut Pandang Sunni-Azhari.

Previous Post Next Post