Setiap
orang khususnya mereka yang memeluk agama Islam pasti meyakini akan
kemukjizatan Al-Qur’an, terutama yang berkenaan dengan aspek kebahasaan (lingual). Namun
tidak banyak dari mereka yang mampu memahami kemukjizatan itu sehingga hanya
mencukupkan diri dengan
membacanya. Padahal memahami
kemukjizatan lingual Al-Qur’an sangatlah penting. Diantaranya adalah supaya seseorang mampu
memperkuat keyakinan mereka akan kebenaran yang terkandung dalam ajaran Islam
melalui sumber utamanya dan tidak mudah tergoyahkan dengan syubhat-syubhat yang
dilontarkan oleh para pembenci Islam.
Memang sejak awal turunnya, Al-Qur’an sudah mendapat banyak pertentangan dari orang-orang kafir Arab yang kebanyakan mereka merupakan ahli sastra terkemuka. Walaupun demikian, tidak ada satupun dari mereka yang mampu menandingi keindahan Al-Qur’an. Mereka dibuat tercengang oleh Al-Qur’an bahkan sebagian justru berbalik memuji keindahan bahasanya meski tanpa dibarengi dengan keimanan. Seperti yang dilakukan oleh Al-Walid bin Al-Mughirah, dia berkata
“Demi Allah, di dalamnya mengandung rasa manis. Ia bagai kurma yang tumbuh sempurna dengan cabang yang berbuah. Tidaklah kalian mengucapkan hal buruk tentangnya kecuali semua hal itu adalah suatu yang salah.”
Adapun mengenai penjelasan kemukjizatan lingual Al-Qur’an, Syekh Mutawali Asy-Sya’rowi menjelaskan beberapa poin, antara lain: Pertama, Al-Qur’an memenuhi syarat balagah yaitu kesesuaian kalam dengan setiap keadaan lawan bicara. Pada umumnya, perkataan manusia tidak mampu mencakup keadaan semua lawan bicaranya. Misalnya jika seseorang berbicara dengan lawan bicara orang terpelajar, maka dia akan cenderung menggunakan kosa-kata ilmiahnya. Pada waktu yang sama dan dengan kecenderungan yang sama, orang yang tidak terpelajar atau awam akan sukar untuk memahaminya. Nah, disinilah letak kemukjizatan Al-Qur’an sebab mampu memahamkan semua orang yang mendengarkannya pada waktu itu, baik yang terpelajar maupun tidak, yang merdeka maupun budak, yang kaya maupun miskin.
Dengan berbagai latar belakang keadaan, mereka dibuat terpukau dan seolah hanyut dengan keindahannya. Dari sinilah orang-orang kafir mengira bahwa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah sihir dan tipu daya buatan manusia. Tuduhan orang kafir itu pun lalu dijawab di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair ...” “Dan bukan pula perkataan tukang tenung (dukun) ...” (QS. Al-Hâqqah: 41-42).
Kedua,
kemukjizatan lingual Al-Qur’an dapat dilihat dari siapa orang yang
menyampaikan dan membawanya. Nabi Muhammad SAW adalah seorang umi, juga tidak pernah belajar sastra, syair, prosa dan lain sebagainya. Meskipun begitu, Nabi SAW mampu
menghadirkan suatu kalam yang memiliki nilai sastra yang tinggi dan tidak seorangpun
mampu menandinginya. Oleh karena itu, tampaklah
jelas bahwa kalam yang dibawa bukanlah buatan
Nabi sendiri atau manusia manapun.
Sisi
kemukjizatan Al-Qur’an semakin tampak ketika Allah SWT mewahyukan kepada Nabi SAW berupa huruf-huruf muqatha’ah, seperti alif lâm mîm, yâsîn,
nûn dan lain sebagainya. Sebab biasanya orang umi ketika menyebutkan
kata misal zaidun
dalam bahasa
arab, pasti tidak mampu menyebutkan huruf-huruf yang terkandung dalam kata itu,
yaitu zay ya dal. Lain
halnya dengan Nabi SAW yang walaupun umi tetap bisa melafalkan huruf-huruf muqhata’ah tadi
dengan sangat fasih.
Ketiga, susunan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tidak lain adalah huruf-huruf dan lafaz-lafaz berbahasa Arab yang merupakan
bahasa ibu orang Arab pada waktu itu. Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam poin
ketiga ini menganalogikan dengan beberapa orang yang diminta berlomba membuat
suatu pakaian, namun masing-masing diberikan bahan yang berbeda: satu diberi
bahan sutera, sedangkan yang lain diberi bahan katun dan kain karung. Kemudian setelah jadi, hasil dari
ketiganya dinilai dan dibandingkan satu dengan yang lain. Sudah barang tentu hasil
pakaian yang terbaik didapatkan oleh penjahit yang diberikan bahan sutera sebab sutera adalah bahan yang terbaik dibanding yang lain. Namun yang seperti ini tentu bukanlah sebuah kompetisi
yang seimbang.
Analogi seperti ini tentu tidak kita jumpai dalam tantangan yang
diajukan Al-Qur’an kepada orang-orang kafir Arab pada waktu itu. Hal ini karena mereka memiliki bahan
yang sama untuk membuat tandingan
Al-Qur’an, yaitu lafaz-lafaz dan
huruf-huruf berbahasa Arab. Bahkan seharusnya mereka lebih unggul karena mereka
adalah para sastrawan Arab yang setiap harinya bercengkerama dengan syair dan prosa Arab. Namun
kenyataannya, lagi-lagi mereka tidak bisa menandinginya. Maka dari itu, tampaklah bahwa titik perbedaannya ada pada
perbandingan kemampuan pembuatnya. Tentunya tidak akan sebanding
antara kuasa Allah SWT dan kuasa manusia. Jadi walaupun
mereka masyhur sebaga
ahli sastra, tetap saja tidak akan menandingi kuasa Tuhan.
Demikianlah penjelasan Syekh Mutawali Asy-Sya’rawi mengenai kemukjizatan
lingual Al-Qur’an. Dengan penjelasan tersebut,
maka seyogianya umat Islam tidak mencukupkan diri dengan membaca Al-Qur’an saja. Namun lebih dari itu, selayaknya mereka berusaha memahami keindahan kandungan ayat-ayatnya. Karena keindahannya
merupakan keindahan paripurna yang tidak akan mampu ditandingi oleh manusia—dan
bahkan jin—manapun.
*Diadaptasi dari fasal ketiga “al-Mu’jizah
al-lughawiyyah fi al-Qur’an al-Karim” dalam buku “Mu’jizat al-Qur’an” juz satu karangan Syekh Mutawali Asy-Sya’rawi.
Penulis: Aliy Rahman
Editor: Muzamil Zahwa