Genealogi Madrasah Nahwu Bashrah dan Kufah


Ketika kita mempelajari suatu keilmuan, kurang lengkap rasanya bila tidak mempelajari geneologi dari keilmuan tersebut. Pada hakikatnya, mempelajari geneologi dari suatu keilmuan sama halnya dengan mempelajari keilmuan itu sendiri. Karena dengannya, kita dapat mengetahui bagaimana proses tahapan formasi, periodisasi, hingga kodifikasi suatu keilmuan. Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi seorang pelajar untuk mengejawantahkan hal ini dalam proses belajarnya.

Dalam hal ini, penulis tertarik untuk sedikit mengulas tentang genealogi Ilmu Nahwu. Sebagai seorang talib, tentunya kita sudah akrab dengan ilmu yang satu ini. Ilmu ini memiliki andil besar dalam hierarki keilmuan Islam. Tersebab, Ilmu Nahwu dapat memudahkan kita dalam memahami berbagai macam keilmuan Islam. Tak heran bila Ilmu Nahwu disebut dengan gerbang keilmuan Islam.

Salah satu hal yang menggelitik di benak penulis adalah ketika mempelajari kaidah-kaidah Ilmu nahwu, pasti tak luput dari perbedaan pendapat antar ulama. Dari perbedaan tersebut, mayoritas ulama nahwu akan merujuk kepada dua madrasah/madzhab nahwu, yaitu Madrasah Bashrah dan Kufah. Lantas apa perbedaan dari madrasah tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penulis kira perlu untuk menguraikan sebab lahirnya Ilmu Nahwu terlebih dahulu. Dr. Syauqi Dhoif dalam bukunya Al-Madâris An-Nahwiyah mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya Ilmu Nahwu. Pertama adalah faktor agama. Faktor ini mengacu pada usaha ulama muslim dalam menjaga kemurnian teks Al-Quran dari kesalahan tata bahasa (lahn). Sebenarnya, hal ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, namun pada saat itu masih jarang terjadi. Kesalahan tata bahasa ini semakin merajalela beriringan dengan meluasnya ekspansi Islam ke penjuru dunia yang berimplikasi pada tercampurnya bahasa Arab dengan bahasa lain (‘ajam).

Adapun kedua adalah faktor non-agama yang termanifestasikan dalam aspek kebangsaan dan sosial. Dalam aspek kebangsaan, bangsa Arab sangat bangga dengan kekayaan bahasa mereka. Mereka khawatir kehilangan identitas bahasanya ketika tercampur dengan bahasa lain. Sedangkan dalam aspek sosial, bangsa non-Arab yang dikuasai Islam (al-musta’ribah) juga merasa butuh akan mempelajari bahasa Arab, agar mereka dapat berbahasa Arab dengan fasih sebagaimana native speaker. Dari sinilah para ulama terdorong untuk untuk merumuskan ilmu tata bahasa Arab, yaitu Ilmu Nahwu.

Lalu, terkait siapa yang pertama kali mengodifikasi Ilmu Nahwu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas pendapat mengatakan antara Sayidina Ali bin Abi Thalib atau Imam Abu Aswad Ad-Duali, dan pendapat yang paling masyhur adalah Imam Abu Aswad. Memang pada masa awal Islam, Sayidina Ali lah yang memahami konsep dasar dari tata bahasa Arab. Namun, yang mulai mengkodifikasi dan merumuskan tata bahasa tersebut menjadi sebuah ilmu adalah Imam Abu Aswad, setelah berguru kepada Sayidina Ali.

Salah satu buktinya adalah Abu Aswad Ad-Duali merupakan orang yang pertama kali memberikan tanda titik dan harakat pada Al-Quran (nuqath i’rabi) atas perintah Ziyad bin Abihi, Gubernur Bashrah pada saat itu. Dari sinilah beliau memulai rantai keilmuan Nahwu di tanah Bashrah. Ilmu Nahwu lahir di tanah Bashrah, tumbuh dan berkembang di sana. Kemudian, kota Kufah pun ikut turut serta berpartisipasi dalam proses penggodokan ilmu ini sampai menjadi ilmu yang matang dan sempurna.

Di dalam buku Nasy’atu An-Nahwi wa Tarikhu Asyhari An-Nuhat karya Syekh Ahmad Thantawi menyebutkan beberapa keistimewaan Bashrah sebagai tempat lahirnya Nahwu daripada Kufah. Pertama, orang Arab yang bermigrasi ke Bashrah berasal dari suku-suku yang terkemuka dan fasih dalam berbahasa Arab seperti suku Qais dan Tamim. Sehingga, masyarakat pribumi Bashrah pun dapat mengambil faedah dalam ketrampilan berbahasa.

Kedua, Bashrah terletak di dekat Pasar Mirbad. Sebagaimana Pasar Ukadz pada masa Jahiliah, pasar Mirbad ini juga merupakan tempat yang digunakan untuk ajang orasi puisi oleh para penyair dan sastrawan Arab. Di sini, para ahli Nahwu turut aktif mendengarkan orasi mereka untuk menguji kaidah nahwu serta menguatkannya. Ketiga, letak geografisnya yang berada di pedalaman Arab nan jauh membuat Bashrah terjaga dari ketercampuran bahasa asing.

Keistimewaan tersebut sangat memudahkan ulama Bashrah dalam menyusun kaidah-kaidah Nahwu. Seperti memudahkan dalam memperoleh gaya (uslub) bahasa Arab yang dijadikan sebagai dalil tanpa perlu melakukan perjalanan ke luar daerah pada awal periodenya. Namun, pada periode-periode berikutnya, banyak dari ulama Bashrah yang pergi menulusuri pedalaman Arab untuk bertemu secara lansung dengan suku-suku asli (musyafahah). kemudian, mereka meneliti dan menyeleksi dalil yang sesuai serta menjauhi dalil yang kurang akurat dan lemah (syadz). Kemudian, mereka mulai membentuk kaidah Nahwu dengan metode kias dan memberi alasan atas pembentukan kaidah tersebut (Ta’lil).

Konsep ini tentunya dirintis oleh ulama terkemuka di Bashrah seperti Abu Aswad Ad-Duali sebagai perintis Ilmu Nahwu tentunya. Selain itu, juga ada Khalil bin Ahmad Al-Farahidi yang dikenal sebagai penemu Ilmu Arudl, juga berperan dalam menyusun kaidah-kaidah, mendalami asas-asas dan menambahkan istilah-istilah baru. Kemudian juga ada Imam Sibawaih, dengan kesungguhan dan ketekunannya mempelajari Nahwu, ia berhasil menjadi pakar Nahwu yang melahirkan kitab Nahwu fenomenal, Al-Kitab. Ilmu Nahwu pada masa Imam Sibawaih ini semakin berkembang, dibuktikan dengan metode debat dan diskusi yang semakin diminati ulama pada masa itu. Hal ini tak terlepas dari pengaruh madrasah Kufah yang mulai berkembang.

Madrasah Kufah tertinggal jauh dari Bashrah dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 100 tahun. Hal ini disebabkan karena ulama Kufah lebih mengutamakan ilmu keislaman terlebih dahulu dari pada Ilmu Nahwu. Mereka juga lebih unggul dalam sastra dan syair beserta periwayatannya. Setelah mereka sadar akan pentingnya Nahwu, mereka baru bangkit untuk ikut serta bersama Bashrah dalam menghidupkan dan mengembangkan keilmuan Nahwu. Walaupun mereka belajar dari ulama Bashrah, mereka mengembangkan metodenya tersendiri tanpa bersandar kepada Bashrah.

Diantara ulama Kufah ialah Ar-Ru’asiy. Beliau merupakan ulama Kufah yang pergi ke Bashrah untuk belajar Nahwu kepada Abu Amr bin ‘Ala dan ulama Bashrah lainnya. Lalu, ia kembali ke Kufah untuk mengajarkan Nahwu di sana. Kemudian ada juga Al-Kisa’i ulama yang tumbuh di Kufah dan belajar dari ulama Bashrah, seperti Khalil bin Ahmad dan lainnya. Di Kufah, ia turut berkontribusi dalam mengklasifikasi dan menguatkan madrasah Kufah. Di tangan Al-Kasa’i lah, mulai banyak bermuculan perbedaan antara kedua madrasah ini.

Ulama Kufah menjadikan berbagai dialek yang diucapkan atau diriwayatkan oleh orang Arab sebagai acuan dalam membuat kaidah Nahwu, tanpa pandang bulu dalil tersebut murni atau tidak (syadz). Tidak seperti Bashrah yang ketat dalam menyeleksi dalil, ulama Kufah lebih fleksibel dan leluasa dalam penggunaan dalil, tanpa proses seleksi yang ketat. Dengan berbagai macam dalil, ulama Kufah mampu melahirkan kaidah Nahwu, berbeda dengan ulama Bashrah yang  membangun kaidah di atas satu dalil saja.

Wabakdu, Ilmu Nahwu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perjalanan menuju kesempurnaannya diwarnai dengan gejolak pemikiran yang menghasilkan perbedaan pendapat antara para ulama Nahwu. Namun, pada dasarnya Nahwu yang dikembangkan oleh para ulama ini berasal dari induk yang sama, yakni Bashrah. Pada hakikatnya, titik perbedaannya terletak pada lingkungan di kedua madrasah ini. Sehingga perlu adanya adaptasi pada lingkungan tersebut dalam proses pembentukannya dengan menggunakan metodologi yang sesuai.

Penulis: Ahmad Nasi'in Najib

Editor: M. Nur Iman Mundzir

Previous Post Next Post