Birasûlillahi wal badawy Warijâlin min banî alawy
Salakû fil manhajin nabawy Birasûlillahi wal badawy
Tentu kasidah di atas
tidak lagi asing di teliga kita. Kasidah ini sering disenandungkan oleh banyak kalangan
muslim di Indonesia, khususnya oleh kalangan santri. Konon, kasidah
tersebut merupakan pujian kepada Syekh Ahmad Al-Badawy, seorang guru Qira’ah
Asyrah, Sufi, wali kutub sekaligus pendiri Tarekat Badawiyyah. Sebelum
mengenal biografi Syekh Ahmad Al-Badawy, hendaknya kita mengenal
tingkatan-tingkatan wali. Karena beliau sering dielu-elukan sebagai wali kutub.
Sejajar dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailany, Syekh Ahmad Ar-Rifa’iy dan Syekh
Ibrahim Ad-Dasuqy.
Dalam dunia tasawuf
tingkatan wali dibagi menjadi lima. Pertama, wali yang disebut al-Ghauts
yang diisi oleh satu orang wali kutub di setiap zaman. Kedua,
wali yang disebut al-Awtad yang terdiri dari empat
wali kutub mewakili empat arah angin. Ketiga, wali kutub yang diisi oleh
tujuh wali di masing-masing benua. Keempat, wali Abdal
berjumlah 40, sebagai wakil wali kutub. Kelima, wali Nujaba’
berjumlah 300 yang berada di tiap-tiap negeri.
Nama dan Nasabnya
Beliau
bernama Ahmad bin Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Abu Bakar. Nasabnya bersambung
kepada Rasulullah SAW melalui Sayidina Al-Imam Al-Husain. Konon, julukan
Al-Badawiy disematkan kepada beliau karena beliau selalu mengenakan penutup
kepala layaknya seorang badui. Leluhur-leluhur beliau berpindah dari Hijaz
menuju ke Maroko tahun 37 H. di era Dinasti Umawiyyah karena penindasan
yang dilakukan oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofiy kepada kaum Alawiyyin.
Kemudian mereka menetap di kota Fes di Maroko.
Kakeknya, Ibrahim menikahi salah seorang dari keponakan sultan pada zaman itu. Kemudian melahirkan Sayid Ali yang merupakan Ayah dari Syekh Ahmad Al-Badawiy. Ibunya bernama Fatimah bintu Muhammad bin Ahmad bin Abdullah. Syekh Ahmad Al-Badawiy merupakan anak terakhir dari enam bersaudara. Riwayat lain menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Al-Badawiy adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara, kakak ke-6 bernama Husain.
Kelahiran dan Masa Kecilnya
Syekh Ahmad
Al-Badawiy dilahirkan pada tahun 596 Hijriah di sebuah gang bernama Al-Hijr, di kota Fes, Maroko. Selama mengandung Sayid
Ahmad, ibunya berkali-kali mendapati mimpi yang menunjukan keistimewaan Sayid
Ahmad. “Engkau akan melahirkan seorang anak yang berbeda dari anak-anak pada
umumnya,” ucap seseorang dalam mimpinya. Dalam mimpi yang lain, seseorang
berkata kepada Sayyidah Fatimah “Engkau akan melahirkan seorang
anak yang memiliki kedudukan layaknya kedudukan seorang tokoh dan akan memiliki
kedudukan di mata kaumnya.”
Sayid Ahmad
kecil tumbuh dengan penuh kasih sayang dan kelembutan dari orang tuanya. Ia
mulai menghafalkan al-Quran dan Hadist nabi serta mempelajari berbagai disiplin
ilmu sejak usia belia. Kemudian melanjutkan studinya di bawah bimbingan ayahnya
dan beberapa ulama di kota Fes. Selain dikenal
sebagai anak yang gemar belajar dan mengaji, Sayid Ahmad juga memiliki
perangai yang mulia dan sederhana, hingga ia dijuluki sebagai Ahmad
Az-Zahid.
Pindah ke Makkah
Sebuah riwayat menuturkan, pada
tahun 607 Hijriah, Sayid Ali, ayah dari Sayid Ahmad pergi ke Mekkah bersama
istri dan anak-anaknya untuk melaksanakan ibadah haji dan bermukim di sana. Sementara itu, riwayat lain mengatakan
ketika usia Ahmad menginjak 20 tahun, sekelompok orang kejam dari suku Barbar menyerang kalangan ahlul bait yang berada di Maroko. Sehingga
mengharuskan mereka untuk hijrah ke Mesir. Di antara ahlul bait yang
berpindah ke Mesir adalah keluarga Sayid Ahmad. Mereka
menetap di Alexandria selama dua tahun. Sementara riwayat lain menyebutkan
selama lima tahun, sebelum akhirnya
berpindah ke Mekkah.
Di Mekkah,
Sayid Ahmad muda mulai menunjukkan tanda-tanda kewaliannya. Ia dikenang sebagai seseorang yang senang berkhalwat di Gunung Nur, gunung yang di
dalamnya ada Gua Hira’. Konon, ia
berkhalwat disana selama tiga tahun. Selain Gunung
Nur, Sayyid Ahmad juga berkhalwat di Gunung Qubais, gunung yang terletak di sebelah kota
Makkah.
Di sana,
Sayid Ahmad mendapatkan anugerah futuh. Ia mulai menjalani suluknya
dibawah bimbingan Syekh Al-Bariy, salah seorang murid Syekh Abu Na’im. Dalam sebuah riwayat, Sayid Ahmad pernah ditawari untuk menikah
oleh salah seorang saudaranya. Akan
tetapi, tawaran itu ditolak olehnya karena ingin fokus
beribadah. Selama di Makkah, ia mendapat beberapa julukan diantaranya adalah As-Syaja’ah
(Sang Pemberani) dan Al-Atthab (Orang yang Malang).
Diceritakan, ada sebuah kejadian yang menimpa Sayid Ahmad sehingga menyebabkanya berubah, ia mengasingkan diri dan melanggengkan diam. Bahkan ia tidak berbicara satu patah kata pun. Sebagai gantinya, ia menggunakan isyarat untuk berkomunikasi. Menurut Syekh Yusri Gabr, Pendiri tarekat Al-Yusriyyah, Sayid Ahmad memiliki tasbih yang terdiri dari seribu butir. Ia mengulurkan tasbihnya sebagai jawaban terhadap orang-orang yang menyapanya.
Suatu malam
di bulan Asyura tahun 633 H., Sayid Ahmad mendapatkan sebuah perintah
melalui mimpi untuk pergi dan membawa kabar berita (berdakwah) ke Tanta. Pada bulan Rabiul Awal, ia bersama
saudaranya, Sayid Hasan berangkat untuk melakukan
safar. Kemudian masuk ke negeri Baghdad dan menjelajahi wilayahnya. Setelah
beberapa waktu Sayid Hasan Kembali ke Makkah. Sementara Sayid Ahmad menyusul
setelahnya. Sesampainya di Makkah, Sayid Ahmad melakukan riyadloh dengan melanggengkan puasa dan banyak mendirikan
salat. Sampai-sampai Sayid Ahmad tidak makan dan tidak minum selama 40 hari 40 malam. Dan selama itu pula ia sering menengadahkan pandanganya
ke langit. Sehingga bola matanya menyala seperti bara api.
Pindah ke Tanta
Setelah beberapa waktu tinggal di
Mekkah. Pada tahun 634 Hijriah, Sayid Ahmad hendak melakukan perjalanan ke
Tanta, Mesir. Dan tiba di sana pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun 637 Hijriah.
Selama di Tanta, Sayid Ahmad tinggal di atap rumah selama 40 tahun. Ia tidak
meninggalkan tempat tersebut baik saat musim panas maupun musim dingin.
Sehingga ia dijuluki sebagai As-Sutuhy (orang yang tinggal di atap
rumah). Menurut Syekh Yusri Gabr, selama di Tanta
Sayid Ahmad pernah mendirikan Maqra’ah (tempat belajar Al-Quran). Oleh
karena itu, belakangan dibangunlah ma’had qira’at di Tanta.
Wafatnya Sayid Ahmad
Sayid Ahmad Al-Badawy wafat pada
hari Selasa, tanggal 12 Rabiul Awal tahun 675 H. yang bertepatan dengan
tanggal 24 Agustus tahun 1276 M. Ia meninggal di Tanta. Kemudian kedudukannya digantikan oleh
muridnya yang bernama Syekh Abdul ‘Aly. Beliau juga membangun masjid untuk
Sayid Ahmad Al-Badawy. Semula, masjid itu menyerupai tempat meditasi yang
besar di samping kubur Sayid Ahmad Al-Badawy. Kemudian masjid itu dipugar
menjadi megah di era pemerintahan Ali Bik dengan membangun kubah dan sebuah
ruangan dari kuningan.
Karamah Sayid Ahmad Al-Badawy
Syekh Syihabuddin Ahmad bin Muhammad
Al-Maqdisy meriwayatkan dari Syekh Syihab bin Hajar, mengatakan bahwa Syekh
Ahmad Al-Badawy memiliki banyak karamah. Yang paling terkenal diantaranya
adalah kisah seorang perempuan yang anaknya ditawan oleh orang-orang Eropa.
Perempuan itu mengadu kepada Syekh Ahmad Al-Badawy, kemudian beliau
menghadirkan anak tersebut. Setelah itu lewatlah seorang laki-laki yang membawa
sebuah wadah susu. Syekh Ahmad Al-Badawy menunjuk wadah tersebut dengan
jarinya. Sontak wanita tadi memberi uang kepada laki-laki pembawa susu
tersebut. Mendadak wadah susu tersebut pecah dan keluar ular dari dalam wadah
itu.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi
meriwayatkan bahwa suatu ketika ia berada di sebuah daerah yang dialiri air
(subur). Kemudian terbesit dalam hatinya sebuah pertanyaan, apakah Syekh Ahmad
Al-Badawy benar mengenakan dua penutup kepala seperti yang dituturkan oleh
kebanyakan orang? Tiba-tiba dihadapannya muncul seorang yang mengenakan dua
penutup kepala. Seraya berkata “Ya Fulan! Kama Yaqulun!” Ia mengganti huruf qaf
dengan huruf jim seperti kebiasaan orang Arab. Peristiwa ini terjadi ketika
Syekh Jalaludidn dalam keadaan sadar.
Shalawat Badawiyah
Selain kasidah yang disebutkan
di atas, Syekh Ahmad Al-Badawy menjadi familiar di telinga kalangan santri
karena beliau lah yang mengarang Shalawat Nuril Anwar. Bagi Santri Guyangan,
tentu tidak asing dengan shalawat tersebut. Karena setiap menjelang subuh,
shalawat tersebut selalu dilantunkan oleh santri Guyangan. Shighat shalawat tersebut berbunyi :
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى نُورِ الأَنْوَارِ. وَسِرِّ الأَسِرَارِ. وَتِرْيَاقِ الأَغْيَارِ. وَمِفْتَاحِ بَابِ الْنَسَارِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُخْتَارِ. وَآلِهِ الأَطْهَارِ. وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ. عَدَد نِعَمِ الله وَأِفْضَالِهِ.
Demikian sekilas kisah tentang Syekh
Ahmad Al-Badawy. Lahul Fatihah!
Penulis: Muhammad Burhanul Umam