Hadis dan Sejarah Islam merupakan dua hal penting yang menjadi pondasi dasar berkembang dan tersebarnya agama Islam. Melalui kedua komponen inilah ilmu-ilmu keislaman bisa sampai dan terdengar dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adapun untuk bisa sampai ke generasi berikutnya, keduanya tentu harus melalui proses penjagaan isi dan kandungan, dengan sebuah metodologi khusus yang membutuhkan kehati-hatian dan selektivitas tinggi. Semua itu tentu wajib untuk dilakukan demi menjaga kemurnian ajaran Islam dan menjauhkannya dari syubhat-syubhat berbahaya yang justru mampu menjerumuskan umat Islam ke dalam jurang kesesatan.
Ketika
dilihat dari urgensitas hadis sendiri misalkan, secara umum umat Islam akan
mengetahui bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an,
yang dari sinilah ayat-ayat Al-Qur’an mampu ditafsiri dan diidentifikasi
hukumnya. Begitu juga sejarah Islam, karena inti pembahasannya adalah untuk
mencitrakan hakikat penerapan hukum Islam yang benar, dan sesuai dengan praktik
Rasulullah SAW beserta sahabatnya. Dari sini maka akan tergambarkan, begitu bahayanya
kalau terjadi kesalahan, dan betapa pentingnya sebuah metodologi yang benar untuk
meneliti keduanya.
Melalui
metodologi khusus ini, akan terlihat bahwasannya antara ilmu hadis dan sejarah
Islam terdapat sebuah relevansi yang menghubungkan satu sama lain. Dalam kitab Fiqh
Al-Sirah karya Syeikh Ramadhan Al-Buthi dijelaskan bahwa ilmu periwayatan
adalah metodologi dasar yang digunakan dalam penelitian hadis dan sejarah.
Dengannya peneliti mampu memonitor sekaligus mengidentifikasi berbagai
peristiwa sejarah, sehingga bisa diketahui mana peristiwa yang terkonfirmasi terjadinya
dengan yang tidak pernah terjadi sama sekali.
Ilmu periwayatan merupakan sebuah kekhususan tersendiri yang dikaruniakan Allah SWT untuk umat Islam dan tidak dimiliki oleh umat lainnya. Sehingga banyak ulama yang menjelaskan urgensitas dari ilmu ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mubarak,
“Permisalan orang yang belajar agama tanpa riwayat seperti orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.” Beliau juga menyebutkan, “Ilmu periwayatan itu sebagian dari agama, dan andaikan tidak ada, maka orang akan berbicara semaunya sendiri.”
Perkataan beliau ini menegaskan bahwa ilmu
periwayatan menjadi komponen penting yang harus ada dalam agama Islam, untuk
mengokohkan ajaran-ajarannya.
Ilmu
periwayatan ini seolah menjadi bukti autentik yang menunjukan akan kemurnian
agama Islam, karena didalamnya tidak akan ditemukan intervensi emosional dari
sang pembawa kabar atau rawi yang memungkinkannya untuk membuat sebuah kabar
dengan semaunya sendiri tanpa mengacu pada kebenaran yang ada. Hal itu disebabkan
karena seorang rawi harus memenui kualifikasi khusus yang mebuatnya bisa
benar-benar dipercaya untuk menyampaikan sebuah kabar.
Sehingga
Syeikh Buthi menjelaskan bahwa yang dia maksud dengan metodologi penelitian
melalui ilmu periwayatan, itu meliputi kaidah-kaidah mustaholah al-hadis,
dan juga ilmu jarah wa ta’dil, yang keduanya pada mulanya merupakan alat
dasar dalam mengeksplorasi suatu hadis dan memastikan kebenaran penisbatannya
kepada Rasulullah SAW, ataupun kepada sahabat dan tabi’in, baru kemudian
seiring berjalannya waktu dan karena beberapa faktor, metodologi ini akhirnya
juga dipakai dalam penelitian sejarah Islam.
Adapun
diantara faktor yang memantik para ahli sejarah Islam menggunakan metode yang
sama dengan ahli hadis dalam mengidentifikasi objek penelitian mereka adalah
karena sejarah Islam pada awalnya merupakan bagian dari ilmu hadis, sehingga
kajian sejarah Islam juga terbangun diatas pondasi kajian hadis, isi dan kandungannyapun
juga berasal dari sumber yang sama, dari situ tentu menuntut adanya metode
penelitian yang sama.
Faktor
lainnya yang menuntut adanya kesamaan metodologi penelitian, antara sejarah
Islam dan hadis adalah, karena beberapa tokoh awal sejarah Islam merupakan ahli
hadis, yang juga periwayat hadis. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan
dan wawasan mendalam tentang hadis. Adapun tokoh-tokoh tersebut antara lain
adalah Asim bin Qatadah, Urwah bin Zubair, dan Ibnu Syihab Az-Zuhri, mereka merupakan
peniliti sejarah dan periwayat hadis yang muncul sekitar abad pertama sampai
abad ke dua hijriyah.
Contoh Karya Ulama di Bidang Sejarah Islam dan Metode Penulisannya
Penulisan kitab-kitab tentang sejarah Islam mulai digencarkan oleh para ulama, setelah mereka berhasil dalam penulisan hadis-hadis Nabi, tentu hal ini disebabkan karena metodologi yang digunakan dalam penulisan sejarah, banyak mengikuti pada metodologi penulisan kitab-kitab hadis. Adapun diantara karya-karya ulama dalam bidang sejarah Islam berikut metode penulisannya antara lain:
- Ta’rikh Al-Umam Wal Muluk; Kitab ini merupakan karya monumental dari Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dimana kitab ini menjadi rujukan sejarah Islam terpenting sepanjang masa, karena ditulis dengan metode yang cermat dan memaparkan data yang lengkap dengan sumber periwayatan yang jelas, metode ini disebut Historiografi yaitu dengan mempelajari sanad dan matan peristiwa sejarah yang berpegang pada nash yang benar dan valid, dengan mengaitkan ilmu sejarah dengan cabang ilmu hadis yang disebut dengan ilmu jarah wa ta’dil, yang membahas biografi, sifat, akhlaq dan akidah seorang rawi
- Al-Bidayah Wa Al-Nihayah; Kitab ini juga merupakan karya monumental dari Abul Fida’ Ibnu Katsir, adapun salah satu kelebihan dari kitab ini adalah beliau menyusun kitabnya berdasarkan kronologis waktu dan peristiwa, selain itu sama halnya dengan kitab Ta’rikh Al-Umam Wal Muluk, beliau juga mengambil sumber-sumber sejarah dari riwayat-riwayat sahih dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, dan beliau juga tidak mencantumkan riwayat-riwayat isroiliyat kecuali yang diperbolehkan dalam syariat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Dari
dua karya ulama diatas kita bisa simpulkan bahwa dalam penulisan sejarah Islam
tidak bisa dilepaskan dari metodologi periwayatan, yang sebenarnya merupakan
metodologi dasar dalam mengidentifikasi hadis, sebagaimana ditemukan di kitab-kitab
hadis seperti Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan lain sebagainya.
Sehingga hal itu menunjukan relevansi diantara kedua cabang ilmu ini.
Selain
itu kita juga seolah mendapatkan hikmah tersendiri dari pembahasan ini, bahwa
semua ilmu itu ada untuk saling melengkapi satu sama lain, walaupun secara
lahir berbeda. Sehingga tak heran Syeikh Kholil bin Ahmad Al-Farahidy pernah
mengatakan, “Seseorang tidak akan sampai kepada apa yang dia butuhkan kecuali
dengan melalui apa yang tidak dia butuhkan.” Dari apriori beliau ini, tentu
mampu kita aplikasikan dalam berbagai lini kehidupan, dan memberikan isyarat
dan nasihat tersendiri kepada kita, untuk jangan pernah menyepelekan hal
sekecil apapun, karena bisa saja hal kecil itu justru merupakan sesuatu penting
yang tidak kita sadari.
Penulis: Aliy Rahman