Menggali Nilai Tasawuf dalam Nahwu; Nahwu al-Qulûb


Di balik ‘
ibarah-‘ibarah Nahwu yang begitu rumit terdapat isyarah-isyarah yang mengandung nilai Tasawuf. Isyarah adalah gambaran kondisi hati atau rahasia ilahi yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang dikendaki. Sedangkan ‘ibarah adalah kalimat yang terkena kaidah Nahwu. Istilah ‘ibarah identik dengan ahli Nahwu lahir, adapun isyarah diperuntukkan bagi pakar Nahwu batin. Nahwu dzahiri membincang seputar lafadz-lafadz Arab, sedangkan Nahwu yang berisi tentang batin lebih mengkaji keadaan hati seorang hamba, ilham dan nilai-nilai ruhani. Keadaan tersebut tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, melainkan dengan isyarat. Hal ini bisa kita temukan dalam kitab Nahwu al-Qulûb.

Nahwu al-Qulûb karya Imam Qusyairi terbagi menjadi dua bagian; Nahwu al-Shagîr dan Nahwu al-Kabîr. Nahwu al-Qulûb al-Shagir mengupas rahasia tasawuf di setiap kaidah nahwu secara global. Dalam Bab al-Kalam contohnya, muallif menyuguhkan kejutan bagi para pelajar bahwa di balik tiga bagian ibarat dalam kalam –yaitu isim, fi’il dan huruf— terdapat makna tasawuf yang mendalam. Ketiga komponen tersebut menjadi pokok susunan kalimat Arab. Selain itu, ketiganya juga mengisyaratkan tiga komponen dalam pembangun tasawuf yaitu: aqwâl, af’al dan ahwal. Aqwâl berarti ilmu yang harus didahulukan daripada amal, sebab amal tanpa ilmu tidak sah. Pun ada hadits yang mengatakan,

Aku disuruh untuk memerangi musuh Islam sampai mereka mengatakan “tidak ada tuhan selain Allah.”

Hadits ini menjadi bukti bahwa seseorang yang memeluk agama Islam, ia harus bersyahadat dengan lisannya sebelum mengerjakan segala kewajiban. Kewajiban ini disebut af'al. Kemudian, ahwal ialah segala bentuk ekspresi hati yang diberikan Allah kepada hamba-Nya setelah menyelesaikan ucapan dan perbuatannya.

Contoh lainnya dalam bab mani' munsharif. Ia secara ibarah diartikan sebagai berbagai hal yang menjadikan suatu isim tidak bisa menerima tanwin. Adapun secara isyarah, mani’ munsharif dimaknai sebagai segala sesuatu yang menjadikan manusia tidak mampu melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya, yaitu beribadah dan memakmurkan bumi. Oleh karenanya Imam Qusyairi menjelaskan kepada kita beberapa hal tersembunyi seputar nilai tasawuf di sana. Berikut beberapa penjelasannya:

a. Jama'.

Ia bisa dimanifestasikan dalam lingkup kehidupan sosial. Yaitu manusia sebagai makhluk sosial diwajibkan untuk melakukan hubungan timbal balik kepada manusia lain, serta diharuskan menjadi makhluk yang mampu bersosialisasi dan hidup bersama dalam kehidupan masyarakat. Ini sebagaimana ungkapan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya,

“Manusia identik dengan madaniyyun bi al-thob'i. Yakni manusia tidak bisa hidup sendiri dan butuh orang lain untuk melangsungkan hidupnya."

Ini juga berarti bilamana manusia tidak memiliki rasa sosial di hidupnya, bisa saja kehidupannya akan kesulitan, atau malah bisa berhenti hidup. (ghairu munsharif).


b. Shorf.

Ia bisa diaplikasikan kepada orang yang hanya memiliki fokus mengejar dan menikmati kehidupan duniawi, tanpa memikirkan akhiratnya. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah SWT yang memerintahkan hamba-Nya untuk men-tasharruf­-kan rezeki yang telah diperolehnya. Yang mana tujuan menasarufkan rezeki (baca: harta) tersebut untuk memperoleh ridla dan rahmat Allah di Hari Pembalasan nanti.


c. Al-Washfu.

Yang menjadi tujuan utama dalam melakukan kebajikan ialah mencari ridla Allah SWT. Bukan bertujuan untuk dikenal masyarakat sebagai orang baik maupun orang dermawan.


d. Al-Ma'rifat.

Yaitu mengetahui dan menyadari pelbagai nikmat yang telah diberikan oleh Allah, akan tetapi ia tidak mensyukurinya. Sikap seperti ini kurang tepat. Karena Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa ketika mendapat sebuah kenikmatan ia diperintahkan untuk mengingatnya dan mensyukurinya. Karena dzikir dan bersyukur merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan,

“Maka, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkari nikmat-Ku.” (QS al-Baqarah ayat 152).

Ulasan singkat Imam Qusyairi dalam Nahwu al-Shagîr tersebut lantas ia membahasnya lebih terperinci dalam Nahwu al-Kabîr. Ia menjelaskan bahwa al-ism secara nahwu batin (isyarah) ialah Allah. Adapun al-fi’l berarti segala sesuatu yang bersumber dari Allah. Kemudian, al-harf dikhususkan untuk segala sesuatu melekat kepada al-ism (Allah), yang kemudian makna ini diartikan sebagai status untuk Allah. 


Hal ini bisa kita lihat dalam aplikasinya. Misalnya adanya ilmu menunjukkan bahwa Allah SWT berstatus al-‘alim (Maha Berilmu) dan adanya kekuatan berarti Allah memiliki status al-qâdir (Maha Kuasa). Adapun contoh penerapan al-harf yang melekat kepada al-fi’l (segala sesutau yang bersumber dari Allah) ialah adanya sifat-sifat af'al (perbuatan) Allah yang berhubungan dengan penciptaan. Sehingga, adanya segala ciptaan tak bisa dilepaskan dari nama Allah SWT.


Problema Hari Ini

Syahdan, ada pembahasan menarik yang bisa kita terapkan ke dalam problem masyarakat hari ini. Yaitu merebaknya ustadz, selebgram, kyai, artis hingga tokoh publik, bagaimana hukumnya? Apakah boleh memanfaatkan nama dan ketenaran untuk mengeruk uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya? Jawabannya ialah sah-sah saja. Ini sebagaimana hadits,

“Ketika Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, maka Ia memanggil malaikat Jibril dan berkata bahwa Ia mencintainya, maka malaikat Jibril pun ikut mencintainya. Kemudian, Jibril mengabarkan kepada penghuni langit bahwa Allah mencintai seorang hamba, maka penghuni langit mencintainya. Walhasil, hal tersebut juga berdampak terhadap penduduk bumi sehingga manusia dapat menerima dakwah- dakwahnya dan mencintainya.”

Dari hadits di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketika seseorang mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus hingga dicintai oleh masyarakat berarti murni dari Allah SWT. Mengenai kyai, selebgram dan artis tersebut, Imam Qusyairi telah mengisyaratkan dalam Nahwu al-Qulûb al-Shagir bahwa hâl ialah sifat haiah (kondisi atau keadaan) dari fail maupun maful. Hal sendiri harus memiliki syarat. Yaitu harus berupa isim nakirah yang berarti seorang hamba (failarif) ketika beribadah kepada Allah tidak boleh menampakkan ibadahnya hingga larangan untuk pamer kepada orang lain.


Lantas, ketika kyai, selebgram maupun ustadz tersebut eksis –dalam hal ini pamer mereka, kita istilahkan hâl-nya berupa ism ma’rifah (secara lafdzi)— maka harus kita kembalikan pada makna yang nakirah. Artinya meski secara lahiriah mereka pamer dan eksis di ranah publik, namun harus kita yakini bahwa secara batiniah mereka sedang ber-muwajahah kepada Allah tanpa ada rasa pamer maupun sum’ah sedikitpun.


Kitab ini sangat direkomendasikan bagi kalangan santri pesantren maupun mahasiswa. Sebab selama ini yang menjadi titik kebanggaan mereka hanyalah pandai ilmu Nahwu disertai membaca kitab dan majalah Arab, tanpa adanya pendalaman terhadap elemen-elemen tasawuf dari setiap kaidah yang dipelajari. Kitab ini juga menjadi salah satu karya Imam Qusyairi yang sangat fenomenal. Karena isinya sangat kompleks tersebab menyatukan ilmu Nahwu dan Tasawuf. Ini apabila dibandingkan karya-karya lainnya yang mayoritas hanya membahas seputar kaidah-kaidah tasawuf.


Kitab Nahwu al-Qulûb sendiri telah laris di pasaran dan dicetak oleh berbagai macam percetakan. Terkhusus untuk buku yang sedang saya resensi ini, ia memiliki satu keunggulan. Yaitu adanya kata sambutan dan ulasan dari Syekh Fathi Hijazi (seorang ulama pakar Bahasa Arab dan dosen di Universitas al-Azhar). Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa buku ini memiliki pengetahuan dan isi yang mendalam,

“Khazanah ilmu Nahwu yang dipaparkan mampu memicu kita untuk lebih tergugah dalam mendalami ilmu Lughoh.”

Adapun buku cetakan dari Penerbit Kasyidah ini termasuk cetakan dengan kualitas kertas yang bagus. Karena ada kualitas ada rupa, maka untuk buku yang relatif kecil ini, harga yang dipatok lumayan besar –bagi mahasiswa dan pelajar khususnya— yaitu sebesar 23.000 rupiah atau berkisar 25 EGP. Beberapa kekurangan buku cetakan ini ialah belum disertakannya tahqiq (pengujian) dan tidak adanya syarah, sehingga perlu konsentrasi tinggi bagi pembacanya dalam memahami setiap kata.

  • Judul buku   : Nahwu al-Qulûb
  • Penulis         : Abu Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi
  • Penerbit       : Maktabah Kasyidah
  • Kota Terbit  : Kairo
  • Tahun Terbit : 2020 M
  • Halaman     : 86
  • Peresensi     : Rico Riski Putra Pratama

Previous Post Next Post