KH. Salim Suyuthi yang lebih akrab dikenal dengan Kiai Salim merupakan pengasuh pondok pesantren Raudlatul Ulum kedua, menggatikan tongkat estafet kepemimpinan pesantren setelah ayahandanya. Lahir di desa Guyangan, kecamatan Trangkil, kabupaten Pati, pada tanggal 20 agustus 1945. Terlahir dengan nama Salim Suyuthi dari pasangan KH. Suyuthi Abdul Qadir dan Hj. Tasr’iah. Kiai Salim merupakan putra kedua dari delapan bersaudara, yaitu Hj. Salamah, Kiai Salim, Hj. Rasyidah, Hj. Sa’adah, Kiai Faruq Suyuthi, Kiai Humam suyuthi, Hj. Kafiyah, dan yang terakhir Kiai Najib Suyuthi.
Sedari kecil, Kiai Salim mendapatkan didikan dalam
lingkungan semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan
tradisional (turast) dan kontemporer. Kiai suyuthi Abdul Qadir memberikan
pondasi bangunan keilmuan guna melestarikan warisan budaya pesantren dan
meneruskan mata rantai khazanah keilmuan Islam. Sebagaimana salah satu
kemuliaan Islam adalah terjaganya mata rantai keilmuan agar terhindar dari
kesalahapahaman dalam menginterpretasikan agama Islam. selain itu, Kiai salim
juga dididik untuk mengorelasikan dan mengaktualisasikan antara khazanah
keilmuan tradisional dan kontemporer dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti
dengan kurikulum pondok pesantren Raudlatul Ulum yang mampu menggabungkan
kurikulum pesantren dan pemerintah.
Kiai Salim dikirim ayahandanya untuk memperdalam
cakrawala khazanah keilmuan Islam ke Pondok Pesantren Darul Ulum, Tambak Beras,
Jombang, Jawa Timur. Setelah beberapa tahun menyerap ilmu di pesantren, Kiai
Salim mendapatkan restu untuk mengabdikan dirinya di tanah kelahiran,
sebagaimana adat pesantren salaf, seorang santri diperbolehkan boyong (pulang)
ketika sudah dianggap berkredibilitas dalam keilmuan Islam. Menyebarkan ilmu
dan menuntun masyarakat merupakan kewajiban setiap penuntut ilmu, sebagaimana
yang dijelaskan di dalam al-Quran dan Hadis.
Kiai salim dinikahkan oleh ayahandanya dengan Ny. Hj.
Afifah, seorang putri dari desa Ngagel, Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah.
Pernikahan tersebut dikaruniai lima anak, yaitu Faiqoh, Siti Inayah, Ika
Zakiyah, Suyuthi Salim, dan Mohamad Hasan Salim. Didikan yang diberikan kepada
anak-anaknya tidaklah jauh berbeda dengan ayahandanya.
Semangat tafaqquh (memperdalam hukum Islam) dan semangat
tawarru’ (bermoral luhur) merupakan prinsip Kiai Salim dalam berdakwah dan
mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Dua prinsip ini bagi Kiai Salim merupakan
keharusan yang dimiliki oleh setiap penuntut ilmu, karena dengannya akan
menciptakan lingkungan yang harmonis dan meningkatkan solidaritas antar sesama.
Hal inilah yang membuat masyarakat sekitarnya mengagumi dan menghormati
kepribadian Kiai Salim.
Dedikasi yang diberikan terhadap pesantren merupakan
regenerasi mencetak kader-kader yang mampu memberikan sumbangsih terhadap
masyarakat, bangsa dan Agama. Kiai Salim menguatkan tradisi dengan ketundukan
mutlak pada ketentuan-ketentuan hukum Islam yang bedasarkan al-Quran, Hadis dan
diskursus Islam baik klasik maupun kontemporer. Sehingga akan membentuk
karakter santri yang berintegitas dan berakhlak luhur, Sebagaimana yang
termaktub dalam visi-misi pondok pesantren Raudlatul Ulum.
Kiai Salim merupakan orang yang pertama kali membuka
jaringan luar negeri, bekerjasama dengan universitas luar negeri. Diantaranya
salah satu niversitas tertua dan berpengaruh di dunia yaitu Al-Azhar Kairo
Mesir dan Universitas Ummul Qurra Saudi Arabia. Pada saat itu, pelajar
Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan di luar negeri tidaklah mudah seperti
sekarang. Seperti KH. M. Najib Suyuthi yang merupakan adik kandung Kiai Salim
mengenyam di Unversitas Al-Azhar dan sekarang menjadi pengasuh pondok pesantren
Raudlatul Ulum, dan KH. Azami yang merupakan alumni pesantren Raudlatul Ulum
dan mengenyam pendidikan di Universitas Ummul Qurra.
Kiai salim tidak hanya mengirimkan alumni pesantrennya
semata, melainkan menerima alumni pesantren lain untuk bergabung dan
mengirimkan ke luar negeri. Hal inilah
merupakan dedikasinya terhadap para alumni Pesantren Raudlatul ulum yang ingin
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tanggung jawab akan
akademik merupakan usaha Kiai Salim dalam mengkader insan akademis yang berkredibilitas keilmuannya, berintegritas,
dan beraklak karimah. Sehingga mampu menyebarkan khazanah keilmuan Islam di
tengah-tengah masyarakat, membangun peradaban dengan paradigma befikir Islami
dan memberikan solusi atas problematika yang dihadapi.
Selain di dunia pesantren, Kiai Salim pun berkiprah di
kancah politik. Semangat berorganisasi
yang semata-mata demi kemaslahatan umat merupakan modal awal Kiai Salim untuk
memajukan peradaban masyarakat dan pesantren, seperti halnya Kiai Salim pernah
menduduki jabatan sebagai kepala desa. Dalam memajukan peradaban dan koneksi pesantren,
Kiai Salim bergabung dengan organisasi Nahdlatul Ulama, yaitu Robithah Ma’ahid
Islamiyyah (RMI), sebuah lembaga Nahdlatul Ulama dengan basis utama pondok
pesantren yang mencapai kurang lebih 23.000 di seluruh Indonesia, beserta
sahabat karibnya KH. Lutfi Hakim dan KH. Hanif (keduanya merupakan ulama besar
dari Mranggen, Demak). Di jenjang lebih tinggi Kiai Salim pernah menduduki dan
bergabung dalam partai Golkar, sebagai membangun networking atau
memperluas pertemanan dan membangun koneksi jaringan serta menjembatani antara
masyarakat dan pejabat.
Keaktifan Kiai Salim dalam mencetak kader-kader dan
berbagai organisasi memberi suri tauladan, bahwa menjadi santri harus
komprehensif, aktualitatif, progresif, dan otoritatif dalam khazanah Islam. Karena
teori-teori yang telah dipelajari dalam pesantren sudah kuat dan kokoh.
Pentingnya sebuah organisasi untuk memperjuangkan kebenaran, kemaslahatan umat,
dan pergerakan dakwahnya terorganisir. Sebagaiman Sayyidina Ali berkata bahwa
kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang
terorganisir.
Di usia 55 tahun, tepatnya hari rabu 18 september 2000,
setelah melakukan salat duha Kiai Salim pulang ke hadirat Allah. Di
tengah-tengah semangat pejuangan Kiai Salim melawan penyakit jantung dan
dirawat inap di rumah sakit selama satu bulan. Kiai Salim dimakamkan di desa
Guyangan Trangkil Pati, bersebalahan dengan makam ayahandanya. Alfatihah.