Pidi Baiq adalah seniman yang memiliki banyak talenta. Dia dikenal sebagai penulis, komikus, ilustrator, dan musisi. Ia mengawali karir di kancah kesenian dengan membentuk The Panas Dalam Band pada tahun 1995. Pernah menjadi dekan di salah satu jurusan di ITB, namun ia memutuskan kembali ke dunia seni yang telah mendarah daging baginya. Sosoknya memang jarang terdengar sampai akhirnya melejitlah Trilogi Dilan yang terbit 3 tahun beruntun dari tahun 2014-2016. Kemudian namanya semakin meledak setelah novelnya diangkat di film layar lebar.
Drunken Moster adalah
salah satu dari 4 serial drunken (Drunken Molen, 2009; Drunken Marmut, 2009;
Drunken Mama, 2009). Serial drunken ini adalah debut Pidi sebagai seorang
penulis. Nama drunken ini terinspirasi dari Film Drunken Master yang dibintangi
Jackie Chan. Sebab, Pidi Baiq memang sangat menyukai Bela Diri Kung Fu.
Muncul dengan genre
komedi, Drunken Monster terasa tidak terpisah dari Pidi Baiq yang dalam dunia nyata pun memang lucu.
Semisal pada penggalan kalimat ”Di sana, di sekolah, yang namanya kebenaran ada
di luar murid-muridnya, kunci jawaban namanya.” Pada penggalan tersebut, Pidi
Baiq mampu membuat sesuatu yang sederhana namun memiliki arti dan makna yang
luar biasa. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan sembarang orang karena cukup
sulit menemukan keunikan dan kedalaman
makna di antara suatu hal yang nyeleneh atau terkesan seenaknya. Ada lagi makna
tentang ringan tangan yang tergambar pada perkataan ”Kalau kamu nanya kenapa
saya ngasih uang? ya ngasih aja, apa susahnya, toh gampang, cuma tinggal
ngasih.”
Drungken Monster
memiliki kalimat yang pendek tanpa struktur. Kecerdasan improvisasinya begitu
nakal dan semena-mena. Buku ini menjungkirbalikan keyakinan filosofis bahwa
manusia adalah makhluk bernalar yang mengendalikan segala perilakunya dengan
pengertian rasional. Akan tetapi, ini adalah kegilaan yang menjanjikan,
absurditas yang mencerahkan, abnormalitas yang memesona, dan ironi yang
merangsang iluminasi.
Karena setiap
jengkal buku ini berupa lelucon, seringkali leluconnya justru terasa receh.
Alhasil kebosanan menyerang setelah receh demi receh terlalui. Hal semacam ini
telah diperhitungkan penulis. Segala kegilaan ini mustahil terjadi secara
kebetulan. Pidi seolah tak acuh dengan pembaca, benar-benar liar tanpa ada
batasan bahkan akal sehat. “Ngapain ke Dago, mau ke mana, yang penting jangan
lupa minum, sayangi ginjalmu.” Setidaknya dalam satu paragraf, ada saja hal
absurd yang muncul. Terlihat sekali Pidi memang ‘mabuk’ saat menulis buku ini.
Jika kita
perhatikan, seluruh karya Pidi Baiq memang mempunyai gaya bahasa yang sama,
sama gilanya. Namun di antara sekian banyak karyanya, jelas trilogi dilan lah
yang paling menonjol. Bukan tanpa alasan, Dilan dianggap memberi warna baru
dalam romantika yang berbalut komedi. Di tengah romantika cengeng, Dilan jelas
menjadi pembeda. Berbeda jika kita membicarakan Drungken Monster. Pembaca tidak
mendapatkan ‘bonus’ setelah bersusah payah menerka kegilaan yang ada dalam
setiap aspek kehidupan Pidi. Bandingkan saja dengan Dilan yang mampu menarik
hasrat membaca dengan tingkah hahahihi-nya dengan Milea. Perbedaan ‘ruh’
ini yang membuat Drungken Monster kalah bersinar. Dengan kata lain, justru
berkat trilogi dilan lah yang akhirnya mendongkrak karya-karya Pidi sebelumnya,
termasuk buku ini.
Pergulatan penulis
tentang Tata Bahasa Indonesia dengan gramatikal Bahasa Inggris juga terdapat
dalam buku ini. Lebih tepatnya pencomotan secara sporadis sebagai bentuk
kalimat yang tidak pernah kita dengar dalam penuturan Bahasa Indonesia.
Misalnya pada penggalan ”Saya sudah sedang di perjalanan pulang mengantar istri
saya.” Pidi dalam kegilaannya juga memainkan fonem untuk memainkan takrif suatu
kata. Kata mendustai dalam permainan fonem tersebut berarti membungkus tahi
dengan dus. Makna ini jelas tidak ditemukan pada akal sehat manapun.
Banyak juga kritik
sosial yang terbalut dalam tawa yang menggelitik. “Setiap ada orang yang keluar
dari kompleks, sama si Sopir diajak ikut. Muda kah, tua kah, cantik kah, jelek kah,
miskin kah, kaya kah, Islam kah, Kristen kah, Buddha kah, Ateis kah, semuanya
diajak tanpa pilih-pilih bulu. Plural.” Praktek diskriminasi yang sering
terjadi tentu menjadi pemicu munculnya kecemburuan sosial. Dan buku Drungken
Moster sukses menyampaikan pesan untuk menjahui perbuatan itu.
Pada akhirnya, tidak
ada alasan untuk tidak mengatakan pujian pada Drunken Monster. Kecuali
membosankan, buku ini mampu melepaskan diri dari relevansi, harmoni, estetis,
dan logis, yaitu belenggu aturan bahasa dan kebudayaan yang selama ini menjadi
semacam bingkai normalitas.
- Judul : Drunken Monster: Cacatnya Harian Pidi Baiq
- Penulis : Pidi Baiq
- Penerbit : Pastel Books
- Tahun Terbit : 2016, cetakan Ke-5
- Tebal buku : 292 Halaman
- Peresensi : Husnil, Muzamil, Aqil