Seorang Pakar Nahwu yang Sering Mabuk

 

Pada tahun 223 H/838 M, tepatnya di Negara Oman pernah lahir seorang pakar nahu yang terkenal unik. Namanya Abu Bakar Muhammad bin Hasan bin Duraid. Ia biasa dipanggil Ibnu Duraid. Ayahnya merupakan seorang pekerja keras, namanya Hasan. Sifat kerja keras ayahnya nya inilah yang kemudian menurun pada dirinya. Tidak hanya kerja keras dalam menjalani kehidupan, ia juga kerap kali berusaha keras menggunakan daya nalarnya untuk menganalisis beberapa maklumat dan permasalahan nahwu secara mendetail. Sehingga hal inilah yang menjadikannya dikenal sebagai sosok pakar dalam bidang nahwu.

Sebutan ‘pakar nahwu’ yang disematkan padanya memiliki ritmenya sendiri, selanjutnya hal ini saya bahasakan dengan perjalanan intelektual Ibnu Duraid. Perjalanan intelektual ini meliputi awal mula ia mendalami ilmu nahwu, guru yang mengajarinya, dan keterpengaruhan pemikirannya. Ketiga cakupan ini saling berkelindan hingga membentuk sebuah genealogi keilmuan seorang Ibnu Duraid. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah saya tidak hendak memaparkan ketiganya secara panjang lebar, akan tetapi cukup menyampaikan secara ringkas hal-hal yang dapat mewakilinya.

Ibnu Duraid pada mulanya tinggal di Oman, namun saat usia remaja, ia pindah ke suatu daerah, letaknya di antara Bashrah (Irak) dan Persia (Iran). Hal ini sekaligus menjadi tanda pengembaraan pertamanya menapaki dunia tata bahasa Arab. Di sini, ia mendapatkan banyak ilmu pengetahuan tentang bahasa Arab beserta gramatikalnya (ilmu nahwu) dengan dibimbing langsung oleh Al-Sijistani dan Al-Riyasi (pakar nahwu Kufah generasi pertama). Dengan demikian, keterpengaruhannya terhadap kedua gurunya ini sangat kuat, tidak sedikit corak-corak pendapat Ulama Nahwu Kufah dijadikan pisau analisisnya.

Terlepas dari sosoknya sebagai pakar Nahu, Ibnu Duraid memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka mabuk. Hal ini bisa dilihat dari perkataan Ibnu Syahin: “aku malu ketika berkunjung ke rumah Ibnu Duraid, aku melihat banyak arak di dalamnya”. Salah seorang Ulama pakar bahasa lainnya, Al-Azhari pun pernah berkata:”aku pernah berkunjung ke rumah Ibnu Duraid, lalu aku menjumpainya sedang mabuk. Sejak saat itu aku tidak lagi mengunjunginya lagi”. Baik Ibnu Syahin maupun Al-Azhari, keduanya semasa dengan Ibnu Duraid.

Pengetahuannya tentang agama sangatlah minim. Ketika menginjak usia tua pun ia masih sering mabuk-mabukkan. Dalam kitab Inbah al-Ruwâh disebutkan saat berumur 90 an tahun beliau pernah hampir meninggal akibat sering minum arak. Selain itu ada cerita unik lagi mengenai sang pakar nahwu ini, saat menjelang wafatnya beliau pernah mengalami kelumpuhan, namun tiba-tiba langsung sembuh setelah diberiminum diryaq (sejenis arak).

Ibnu Duraid tergolong Ulama yang produktif. Hal ini bisa dilihat karya-karya beliau yang sangat melimpah, misalnya: al-Jumhurah, al-Isytiqâq, al-Malahin, al-Mahsyi, dan lain-lain. Kitab al-Jumhurah merupakan salah satu rujukan yang dipakai oleh Ibnu Sidah (397 H-458 H) dalam salah satu kitabnya yang berjudul al-Mukhashas. Berkat kemahiran dan produktivitasnya tersebut, dua pejabat Persia pada masa kekuasaan al-Muqtadir: Abdullah bin Muhammad bin Mikail dan anaknya yang bernama Abu al-Abbas senantiasa mengunjungi rumahnya.

Pada usia tuanya, Ibnu Duraid pindah ke Baghdad hingga pada tahun 323 H atau 938 M beliau menghembuskan nafas terakhirnya di kota yang dijuluki “lumbung ilmu” tersebut. Saat itu usianya 100 tahun. Dalam riwayat lain beliau berusia 93 tahun (228 H-321 H).

Mengenai dua sisi yang berbeda dalam diri Ibnu Duraid ini, dalam pandangan saya, Ibnu Duraid tetaplah Ibnu Duraid. Ia hanya berusaha untuk menjadi dirinya sendiri, kebiasaannya minum arak menandakan bahwa ia membawa karakter khasnya sebagai orang Arab. Bukankah dalam sejarah pengharaman arak melalui beberapa fase, bahwa masyarakat Arab susah menghilangkan kebiasaanya untuk tidak meminum arak, bahkan saat akan melaksanakan salat sekalipun?

Sementara figurnya sebagai seorang pakar tata bahasa menandakan bahwa ada proses yang dilaluinya; keuletan, kecerdasan, kemampuan nalar, dan kemauannya untuk senantiasa belajar dan mendalami ilmu tata bahasa Arab adalah bentuk apriorinya menjaga tradisi keilmuan bangsa Arab. Dengan demikian, secara tidak langsung ia menggambarkan dua corak tradisi masyarakat Arab sekaligus; tradisi sosial dan tradisi intelektual. Dalam kaitannya dengan era sekarang ini, jika seseorang masih terikat dengan latar belakang agama Islam, maka tradisi minum arak bisa jadi tidak relevan sama sekali. Namun, jika tidak memiliki latar belakang agama Islam,  maka boleh jadi itu hal yang relevan.

Penulis: Ahmad Khikam

Previous Post Next Post