“Ya Allah, semoga Engkau memberikan padaku dua mata yang menangis bercucuran karena takut pada-Mu sebelum akhirnya tangisan itu menjadi darah dan gigi geraham menjadi terkumpul,” (Doa Nabi SAW)
Doa Nabi Muhammad SAW
menjadi bukti sahih bahwa dua mata yang menangis menjadi saksi bagi seseorang
di Hari Akhir nanti. Menangis merupakan bagian kehidupan. Ia menjadi sebuah
kebiasaan yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Jika kita telisik lebih dalam, manusia menjadi satu-satunya
makhluk hidup yang menempatkan
menangis sebagai ungkapan kesedihan dan perasaan. Lantas, dari sini muncul pertanyaan, apa makna hakiki dari menangis serta bagaimana
urgensinya.
Menangis ialah
perantara yang efektif untuk menenangkan jiwa dan mengembalikan keseimbangan
jiwa. Ia bisa juga menjadi simbol
ucapan. Hal ini manakala bibir tak mampu
lagi mengucapkan kata-kata, maka air mata bisa mengekspresikannya. Dewasa ini muncul sebuah permasalahan. Yaitu menangis diidentikkan sebagai simbol kelemahan. Seolah-olah
mereka yang meneteskan air mata ialah
sosok yang lemah, padahal sebaliknya. Mengapa demikian?
Jika dilihat dari perspektif agama, terdapat ayat Al-Quran, hadist, atsar
dan syair yang membahas tentang menangis. Ia merupakan salah satu nikmat Allah
yang terbesar. Selain itu, ia juga menjadi pertanda dari Allah yang diberikan
kepada manusia. Umumnya, jika seseorang tidak menangis berarti ia dianggap
orang mati. ia juga sebagai pertanda hidupnya kaku, penuh tekanan dan
kesusahan.
Dari sini jelas bahwa tidak semua orang bisa menangis. Padahal menitikkan air mata merupakan sebuah anugrah, bahkan para nabi dan auliya’ pun menangis. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran surat Maryam ayat 58:
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis”.
Diceritakan dari Aisyah RA, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah ada seseorang dari umatmu yang akan
masuk surga tanpa dihisab terlebih dahulu?” Maka beliau menjawab: “Iya ada,
yaitu; seseorang yang ingat akan dosa yang dilakukannya, lalu ia menangisi dosa
tersebut.” Abdullah bin Umar juga pernah berkata: “Menangisku karena
takut kepada Allah lebih aku cintai dari pada sedekah seribu dinar.” Kemudian
ada juga syair yang menceritakan perihal tertawa dan tangisan manusia,
“Wahai anak Adam, kau menangis saat bundamu melahirkanmu, sedangkan manusia di sekitarmu tertawa bahagia menyaksikanmu. Maka berjuanglah (bersungguh-sungguh) untuk dirimu, agar engkau tertawa bahagia ketika semua orang menangis di hari kematianmu.”
Urgensitas Menangis
Sebuah studi ilmiah menyebutkan di antara 41 penderita usus buntu,
diidentifikasi bahwa 33 orang penderita tersebut terinfeksi penyakit tersebut
karena memendam perasaan kesedihan yang mendalam dan tidak diselesaikan dengan
cara menangis. Hal tersebut menjadi beban yang semakin lama semakin menumpuk
dalam dirinya. Hingga puncaknya ia terkena penyakit usus buntu.
Adapun ditinjau dari bidang Psikologi, disebutkan bahwa menangis sumber kesehatan.
Sedangkan air mata adalah salah satu hal nyata dan utama yang mengungkapkan
perasaan. Ahli psikologi memberi nasihat agar menangis, karena hal ini menjadi
solusi utama untuk mengobati tekanan jiwa dan kejenuhan yang berkepanjangan
karena kesibukan duniawi. Air mata atau tangisan dianggap mampu meringankan
beban hidup pada masa sekarang.
Syahdan bilamana dilihat dari segi kesehatan, menangis dapat
membersihkan mata. Ini karena
air mata bisa membasahi kotoran yang menutupi kantong mata. Air
mata mengandung enzim khusus yang dapat membasmi bakteri kecil yang masuk ke dalam
mata.
Wabakdu, buku ini sangat menarik untuk dibaca, karena banyak sekali rujukan dari al-Quran, hadist, atsar, psikologi dan dokter. Bukti yang dijelaskan dalam bukti ini menjadi acuan untuk menjawab opini mereka yang menganggap bahwa menangis ialah simbol kelemahan. Meski demikian, terdapat beberapa kekurangan di buku ini. Misalnya terlalu banyak mengangkat dalil-dalil, sehingga terkesan menjual menjual ayat dan dalil-dalil keagamaan. Kemudian, buku ini terlalu tekstual sehingga nantinya menyebabkan kesulitan pemahaman bagi mereka yang awam tentang agama. Selain itu beberapa sumber kurang dicantumkan secara lengkap, seperti sumber dalil maupun sumber riset yang menjadi rujukan –baik bidang ilmiah, psikologi maupun kesehatan.
Penulis : Al-Habib Muhammad bin Alwy Alaydrus
Penerjemah : Eko Prayitno
Penerbit : CV. Layar Creativa Mediatama
Kota Terbit : Bantul
Tahun Terbit : 2017
Halaman : 174
Peresensi : Ahmad Habibi