Kairo; Antara Menaklukkan dan Ditaklukkan




Saat saya menjadi anak baru tahun 2016 lalu, saya pernah mendengar pepatah Arab yang mengatakan, “Kairo: Ketika kamu tak mampu menaklukkannya, kamu bakal ditaklukkan olehnya.” Spontan pepatah tersebut menimbulkan pertanyaan dibenak saya; apakah kelak saya akan kalah sebelum berperang atau akan menjadi seorang pemenang? Rasanya pepatah tersebut benar-benar memberi kesan yang tersirat. Saya pun menyimpan ungkapan tersebut, sebagai pemantik dan alarm ketika saya mulai kehilangan arah di pelataran sungai Nil ini.

Sebuah ironi memang, ketika kita sudah berada di ladang ilmu, bukan belajar sungguh-sungguh malah hanya bersantai ria. Padahal kita dituntut untuk memaksimalkan usaha dalam menanam sesuatu, jika menginginkan hasil panen yang memuaskan—mencangkul, memberi pupuk, dan menyiraminya—. Tapi sayangnya, setelah kurang lebih tiga tahun saya berada di Mesir, angan-angan akan hasil memuaskan dari mahasiswa Indonesia yang berada di Mesir nampak seperti utopis belaka ketika melihat lingkungan yang ada di sekitar saya.

Semisal, sebagian pelajar yang terus-terusan menguras energi untuk sesuatu yang kurang tepat. Mereka menghabiskan waktunya untuk bermain game, nonton film, dan melakukan hal-hal yang sifatnya hiburan tanpa diimbangi dengan porsi belajar yang cukup. Setiap hari tugas wajibnya hanya berkutat dengan gawai. Dan melalaikan hal pokok yang seharusnya diimplementasikan seorang pelajar, yaitu mencari ilmu.

Seseorang yang terlalu sering bermain game, otaknya hanya berpikir tentang menikmati permainan dan menyelesaikannya dengan sempurna. Tak lagi memikirkan bagaimana caranya mengkhatamkan dan memahami diktat-diktat kuliah terlebih menelaah isinya.

Parahnya, saking terfokus dengan game sampai-sampai membuat mereka abai dengan lingkungan sosial. Ruang lingkup kehidupan yang luas secara otomatis menjadi sangat kecil dalam sebuah gawai. Dunia maya sudah begitu menariknya dibandingkan dengan dunia nyata. Imbasnya, timbul sikap apatis di setiap individu. Tak ada rasa tanggung jawab kepada orang lain, merasa tercukupkan dengan dunianya sendiri.

Interaksi antar sesama —di luar— yang seharusnya terjadi tak ubahnya hal asing. Tuntutan untuk memenuhinya tak terpedulikan lagi. Anggapan kita bahwa semuanya bisa teratasi dengan bersosial media, hanya bulshit belaka. Seandainya pun itu terjadi, hanya sebatas hubungan singkat yang efeknya belum bisa dirasakan hingga sekarang.

Selain terlalu sering bermain game, banyak juga para pelajar yang mungkin masih sering bermalas-malasan di rumah. Menikmati indahnya Wi-Fi sambil rebahan dan chatt-ingan dengan friendzone masing-masing. Menonton film hingga kebablasan. Sampai tak tersadar bahwa mereka telah kehilangan waktu dan kesempatan.

Salah satu bentuk lain malas-malasan yang masih sering dilakukan yaitu tidur-tiduran, memang tidak nge-game tapi juga tidak melakukan aktifitas lainnya, apalagi belajar—entah apa yang dilakukan—. Beban seorang pelajar seakan sudah hilang entah kemana.
Kesadaran diri akan pergolakan dunia luar yang begitu kompetitif, nampaknya tak lagi dihiraukan. Padahal di luar sana, orang-orang tidak pernah berhenti untuk memperkaya keilmuan dan mengubah dirinya sebaik mungkin.

Meskipun sejatinya adalah wajar jika kita merasa malas dan jenuh. Sebab setiap aktivitas memiliki titik jenuhnya masing-masing. Namun, untuk ukuran lingkungan yang sejatinya sangat mendukung untuk kita melakukan banyak kegiatan, dirasa menjadi kaum rebahan hanya apologi seorang pecundang belaka.

Karena sejatinya banyak sekali yang bisa kita jelajahi di kota Kairo ini. Setidaknya ada tiga tempat yang sangat esensial untuk kita kunjungi, jika memang sulit untuk menggerakan diri. Pertama, kuliah. Di mana ini sudah menjadi prioritas utama kita, yang telah diamanahi orang tua untuk pergi ke Kairo sebagai seorang mahasiswa.

Kedua, talaki. Selain kuliah, Al Azhar juga menyediakan banyak platform yang bisa kita kunjungi. Yaitu talaki (mengaji dengan para syekh) di masjid atau di madiyafah (tempat khusus untuk mengaji para pelajar) untuk menambah wawasan keilmuan kita sebagai seorang pelajar yang bergelut dalam dunia keislaman, dirasa adalah hal wajib untuk mencari ilmu di majlis talaki sebagai bekal pulang nanti.

Dan yang terakhir, organisasi. Setidaknya ada banyak organisasi mahasiswa Indonesia yang tersebar di almamter, kekeluargaan dan PPMI, silakan diikuti hitung-hitung sebagai bentuk keshalihan sosial kita, syukur-syukur bisa mengembangkan diri di sana.

Bukankah dinamika yang tak disikapi dengan sebaik-baiknya akan menggerus masa depan kita? Setidaknya tulisan ini bisa menjadi alarm perihal pepatah yang saya singgung di atas, apakah kini kita sudah menjadi penakluk Kairo, atau malah ditaklukkannya?

Penulis: Muhub Abrori

Previous Post Next Post