Sebuah ironi memang, ketika kita sudah berada di ladang ilmu, bukan belajar
sungguh-sungguh malah hanya bersantai ria. Padahal kita dituntut untuk
memaksimalkan usaha dalam menanam sesuatu, jika menginginkan hasil panen yang
memuaskan—mencangkul, memberi pupuk, dan menyiraminya—. Tapi sayangnya, setelah
kurang lebih tiga tahun saya berada di Mesir, angan-angan akan hasil memuaskan
dari mahasiswa Indonesia yang berada di Mesir nampak seperti utopis belaka
ketika melihat lingkungan yang ada di sekitar saya.
Semisal, sebagian pelajar yang terus-terusan menguras energi untuk sesuatu
yang kurang tepat. Mereka menghabiskan waktunya untuk bermain game,
nonton film, dan melakukan hal-hal yang sifatnya hiburan tanpa diimbangi dengan
porsi belajar yang cukup. Setiap hari tugas wajibnya hanya berkutat dengan
gawai. Dan melalaikan hal pokok yang seharusnya diimplementasikan seorang
pelajar, yaitu mencari ilmu.
Seseorang yang terlalu sering bermain game, otaknya hanya berpikir tentang menikmati permainan dan menyelesaikannya dengan sempurna. Tak lagi memikirkan bagaimana caranya mengkhatamkan dan memahami diktat-diktat kuliah terlebih menelaah isinya.
Parahnya, saking terfokus dengan game sampai-sampai membuat mereka
abai dengan lingkungan sosial. Ruang lingkup kehidupan yang luas secara
otomatis menjadi sangat kecil dalam sebuah gawai. Dunia maya sudah begitu
menariknya dibandingkan dengan dunia nyata. Imbasnya, timbul sikap apatis di setiap
individu. Tak ada rasa tanggung jawab kepada orang lain, merasa tercukupkan
dengan dunianya sendiri.
Interaksi antar sesama —di luar— yang seharusnya terjadi tak ubahnya hal
asing. Tuntutan untuk memenuhinya tak terpedulikan lagi. Anggapan kita bahwa semuanya
bisa teratasi dengan bersosial media, hanya bulshit belaka. Seandainya
pun itu terjadi, hanya sebatas hubungan singkat yang efeknya belum bisa
dirasakan hingga sekarang.
Selain terlalu sering bermain game, banyak juga para pelajar yang
mungkin masih sering bermalas-malasan di rumah. Menikmati indahnya Wi-Fi
sambil rebahan dan chatt-ingan dengan friendzone
masing-masing. Menonton film hingga kebablasan. Sampai tak tersadar bahwa
mereka telah kehilangan waktu dan kesempatan.
Meskipun sejatinya adalah wajar jika kita merasa malas dan jenuh. Sebab
setiap aktivitas memiliki titik jenuhnya masing-masing. Namun, untuk ukuran
lingkungan yang sejatinya sangat mendukung untuk kita melakukan banyak
kegiatan, dirasa menjadi kaum rebahan hanya apologi seorang pecundang belaka.
Karena sejatinya banyak sekali yang bisa kita jelajahi di kota Kairo ini.
Setidaknya ada tiga tempat yang sangat esensial untuk kita kunjungi, jika
memang sulit untuk menggerakan diri. Pertama, kuliah. Di mana ini sudah menjadi
prioritas utama kita, yang telah diamanahi orang tua untuk pergi ke Kairo
sebagai seorang mahasiswa.
Kedua, talaki. Selain kuliah, Al Azhar juga menyediakan banyak platform yang
bisa kita kunjungi. Yaitu talaki (mengaji dengan para syekh) di masjid atau di madiyafah
(tempat khusus untuk mengaji para pelajar) untuk menambah wawasan keilmuan kita
sebagai seorang pelajar yang bergelut dalam dunia keislaman, dirasa adalah hal
wajib untuk mencari ilmu di majlis talaki sebagai bekal pulang nanti.
Dan yang terakhir, organisasi. Setidaknya ada banyak organisasi mahasiswa
Indonesia yang tersebar di almamter, kekeluargaan dan PPMI, silakan diikuti
hitung-hitung sebagai bentuk keshalihan sosial kita, syukur-syukur bisa
mengembangkan diri di sana.
Bukankah dinamika yang tak disikapi dengan sebaik-baiknya akan menggerus
masa depan kita? Setidaknya tulisan ini bisa menjadi alarm perihal pepatah yang
saya singgung di atas, apakah kini kita sudah menjadi penakluk Kairo, atau
malah ditaklukkannya?
Penulis: Muhub Abrori