Gagal Paham Pelabelan ‘Azhari’


Kalau kita perhatikan tren dalam penggunaan istilah ‘Azhari’ beberapa bulan terakhir, timbul kesan adanya sekat sosial terutama di kalangan mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar. Bagi saya sekat sosial ini merupakan konsekuensi dari kurangnya pemahaman yang benar mengenai definisi dari istilah Azhari ini. Di samping faktor kurangnya pemahaman, kita juga dikacaukan dengan klaim sepihak mengenai pelabelan Azhari ini. Kalimat yang sering terucap—beberapa bulan yang lalu dan mungkin masih terjadi hingga sekarang—adalah misalnya, “Anda tidak lebih Azhari daripada saya.” dalam mengomentari kasus-kasus tertentu, walaupun ucapan yang terlontar tidak selalu sama dengan yang saya contohkan.

Klaim seperti di atas biasanya hanya dilandasi pada satu sifat yang memberikan label bagi seseorang untuk bisa disebut sebagai seorang Azhari. Satu sifat tersebut adalah moral. Persoalan ini perlu saya tuliskan karena kelanjutan dari tren ini akan mengarah pada sebuah penghukuman yang salah terhadap seseorang.

Saya beri ilustrasi singkat, saya sebagai perokok tidak jarang bersinggungan dengan kawan mahasiswa al-Azhar mengenai persoalan rokok. Bagi saya, tindakan merokok merupakan tindakan yang pantas-pantas saja ketika dilakukan sesuai pada tempatnya, seperti di kafe. Dalam kasus ini, saya sempat diklaim tidak Azhari karena merokok di kafe belakang kampus. Alasannya sederhana, perbuatan tersebut tidak mencerminkan moral masisir karena sudah terlanjur dianggap baik oleh Masyayikh al-Azhar. Jujur, saya tidak ambil pusing atas kejadian tersebut. Justru saya terpantik untuk menanyakan kembali apakah tepat pelabelan Azhari ini jika hanya diukur dari tindak laku secara moral? Apakah pertimbangan moral dirasa perlu sehingga berbagai usaha penegakan moral perlu digalakkan?

Berangkat dari pertanyaan “Apa itu Azhari?”, saya memulai paragraf ini. Dalam sebuah majelis ilmu, Syekh Ali Jumah pernah ditanya oleh seorang mahasiwa mengenai definisi Azhari. Dalam majelis tersebut beliau menjawab,

“Seorang mahasiswa dikatakan sebagai azhari ketika terpenuhinya tiga syarat; Pertama, secara akidah ia bermadzhab Asy’ari. Kedua, secara fikih ia memeluk salah satu mazhab dari mazhab empat, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Ketiga, ia memiliki orientasi moral seperti akhlak dan tasawuf.”

Dari keterangan tersebut, saya rasa sudah cukup mewakili definisi Azhari secara umum. Meskipun saya belum menemukan sumber data yang lebih lengkap untuk menjelaskan secara mendetail mengenai definisi yang dituturkan syekh Ali Jumah.

Dari keterangan sebelumnya, kita bisa menilai bahwa syarat moral dalam penggunaan istilah Azhari sebagai landasan pelabelan secara mutlak tidaklah bisa diterima. Karena menyisakan dua syarat yang telah dipaparkan oleh Syekh Ali Jumah. Tetapi saya tidak ingin berfokus di situ saja. Saya ingin lebih fokus melihat kesalahan mengenai pemahaman moral itu sendiri. Di samping moral merupakan salah satu syarat dari apa yang bisa kita sebut sebagai Azhari, ia juga merupakan perkara yang bersifat kompleks. Karena pembahasan moral dirasa tidak akan lepas dari pembahasan kehidupan bersosial.

Dalam KBBI, moral didefinisikan sebagai ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Dari keterangan ini, kita mengetahui bahwa moral berfokus pada ajaran baik atau buruk yang diterima umum. Tanpa ragu, saya setuju dengan keterangan tersebut karena begitulah adanya.

Tapi saya masih merasa perlu dengan adanya keterangan tambahan guna tersampaikannya tujuan dari tulisan ini. Menurut Will Durrant dalam bukunya The story of philosophy, moral dirumuskan sebagai kata hati, perasaan, dan suatu prinsip yang apriori serta absolut. Kata hati yang dimaksud adalah suatu perintah tanpa syarat yang ada dalam kesadaran kita. Sedangkan perintah itu adalah untuk berbuat baik sesuai dengan hukum kewajaran atau kelaziman.

Lebih lanjut, Emmanuel Kant dalam bukunya Moral theory, mengatakan bahwa tindakan manusia yang berkaitan dengan kata hati itu absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban (duty), dan bukan akibat dari suatu hal lain. Menurutnya perbuatan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila perbuatan tersebut dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban, melainkan didasari rasa pamrih terhadap suatu tindakan. Suatu perbuatan dinilai baik apabila dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

Bisa saya simpulkan secara singkat,—terkait dengan pandangan moral dan ilustrasi dalam kasus saya—bahwa seringkali kita dihadapkan pada penegakan moral tidak bersandar pada sebuah kewajiban. Penegakan moral yang coba dibangun oleh beberapa teman mahasiswa kita, saya rasa masih sebatas pada sikap pamrih. Terbukti dalam kasus saya pribadi, alasan penegakan moral sebatas menjaga nama baik mahasiswa Indonesia dihadapan Masyayikh al-Azhar. Hal ini bisa dimaklumi untuk alasan kepentingan bersama. Tetapi agar tidak terjadi klaim sepihak mengenai siapa yang lebih pantas atas pelabelan Azhari ini. Persoalan ini bagi saya adalah hal yang sederhana, ia terjadi karena argumen yang dibangun tidak bisa diterima secara logika.

Dari sini saya merasa bahwa terdapat kesalahan dalam pendekatan moral yang dilakukan oleh beberapa kawan mahasiswa kita Pemahaman moral yang digunakan teman-teman mahasiswa tersebut masih sebatas pertimbangan rasa pamrih, bukan berdasar pada kewajiban. Karena ketika kita memberlakukan moral atas dasar kewajiban, setidaknya kita tidak akan mengkritisi sebuah pelabelan yang didasari atas alasan yang tidak tepat.

Penulis: Naufaluzzaman

Previous Post Next Post