Saya melihat Quraish Shihab sebagai seorang alumni Al-Azhar yang perannya
sangat dirasakan masyarakat Indonesia. Beberapa waktu lalu, dia menerima
penghargaan berupa Bintang Tanda Kehormatan Tingkat Pertama Bidang Ilmu
Pengetahuan dan Seni dari Pemerintah Mesir. Penghargaan itu diberikan dalam
Konferensi Internasional tentang Pembaharuan Pemikiran Islam yang
diselenggarakan oleh Universitas Al-Azhar di Kairo, 27 Januari 2020.
Selain Quraish Shihab (selanjutnya ditulis QS), tokoh lain yang menerima
penghargaan serupa adalah Syaikh Musthofa Abdul Raziq, pembaharu Filsafat Islam
di era Modern dan Syaikh Mahmoud Syaltut, perintis dialog Sunni-Syiah. Melihat
sederet tokoh tadi, tentunya orang-orang yang menerima penghargaan tadi telah
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia Islam. Lalu seperti apakah
eksistensi QS? Bagaimana peran dan pengaruhnya di tengah kelompok muslim yang
berseteru?
Melejitnya QS berawal ketika dia menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah
(1992 – 1998). Kemudian dia diangkat sebagai Menteri Agama Indonesia ke-16.
Setelah itu dia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Mesir. Dia juga
pernah mejabat sebagai ketua MUI. Begitulah perjalanan karier QS sampai namanya
mulai mencuat lebih-lebih dipandang sebagai alumni Universitas Al-Azhar.
Sebagai seorang alumni Al-Azhar, QS nyaring menyuarakan sikap keislaman wasathiyah
atau moderasi Islam, selaras dengan institusi yang melahirkannya. Menurut yang saya pahami dari ceramahnya,
implementasi moderasi islam ini memadukan pemahaman agama dan sosial, serta
menghindari emosi keagamaan.
QS mengungkapkan bahwa istilah Wasathiyah bersandingan (bukan semakna) dengan Ghuluw. Dalam Bahasa Arab, Istilah Ghuluw merujuk kepada tindakan yang melewati batas. Sehingga menurutnya, moderat merupakan sikap di tengah.
Dalam ranah ini, QS membedakan orang yang melewati batas (ghuluw) dengan
ekstrimis yang selama ini dianggap semakna oleh sebagian orang. Dalam
pandangannya, ekstrimis tidak hanya melewati batas, tetapi sudah mencapai titik
maksimal. Secara gampangnya akan ada tiga istilah yaitu; Wasathiyah,
Ghuluw, dan Tathoruf (Ekstrimisme)
Kembali pada persoalan implementasi moderasi Islam yang disinggung tadi,
yaitu pengkolaborasian pemahaman ilmu agama dan sosial. Di titik ini QS
berupaya memberi batas yang jelas dalam memahami moderasi Islam. Lalu dengan
batas itu, kita dapat menghindari pemikiran Fundamentalisme yang anti dengan
kontekstualitas atau pemikiran Liberal yang kelewat batas menerapkan
kontekstual hingga menyabut kitab suci dari kedudukannya sebagai wahyu ilahi.
Tidak heran jika QS sendiri menulis Tafsir Al-Misbah yang menyajikan
kontekstualisme selain menggabungkan disiplin metodologi dan pendekatan
asbabunnuzul. Tafsir inilah yang akhirnya menjadi masterpiece di
antara karya-karyanya yang lain. Meskipun begitu ia tetap rendah hati dengan
menyadari kemungkinan Tafsir Al-Misbah sudah tidak lagi relevan atau bahkan
memuat banyak kesalahan.
Kemudian QS melanjutkan dengan menghindari emosi keagamaan dalam
implementasi moderasi Islam. Sepintas saya menduga kalau narasi ini ditujukan
untuk menyinggung para Fundamentalis. Di luar dugaan, QS justru memberikan
analogi—yang sering dia gunakan dalam metode ceramahnya—mengenai sentimen
kelompok Islam Tradisional terhadap produk-produk keagamaan orang-orang
Fundamentalis. Walaupun orang-orang Fundamentalis ini lebih dikenal dengan
emosi keagamaannya, mungkin QS lebih resah dengan friksi yang terus berlanjut
di antara keduanya.
Misalnya tren Hijrah yang mampu mencuri perhatian generasi milenial.
Tentunya fenomena ini membuat kelompok Islam Tradisional kecolongan. Akhirnya
mereka terdorong untuk mempertanyakan legalitas Hijrah dalam Islam. Di sini, QS
berupaya melerai dengan memaknai ulang Hijrah sebagai perpindahan pribadi buruk
menuju baik atau pribadi baik menuju pribadi yang lebih baik.
Dalam kancah Internasional, QS ikut berperan untuk mewujudkan persaudaraan.
Dia mengatakan bahwa agama dan kemanusiaan berdampingan untuk menciptakan
kehidupan yang damai dan harmoni. Hal itu ia sampaikan dalam Pertemuan
Persaudaraan Kemanusiaan yang diadakan di Uni Emirat Arab, 4 Februari 2019. Dia
hadir dalam pertemuan itu sebagai anggota Moslem Elders Councils yang dipimpin
oleh Imam Besar Al-Azhar, Ahmed At-tayyeb.
Sikap keislaman QS membuat Jokowi menemuinya pada tanggal 25 Januari 2019 di
Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Al-Quran. Presiden menemuinya guna membahas
keagamaan yang moderat. Apalagi Indonesia sedang menghadapi konflik toleransi
yang membuat suasana gaduh ketika muncul isu-isu seputar keagamaan yang
sensasional.
Isu-isu sensasional yang saya amati bak agenda tahunan yang selalu diperingati.
Contoh gampangnya adalah fenomena yang sering kita temui di penghujung bulan
Desember yaitu perseteruan antar kelompok muslim—yang tadi telah saya
sebutkan—tentang hukum mengucapkan “selamat hari natal” kepada umat kristiani.
Bahkan ketika pandemi Covid-19 semakin menyebar, masih sempatnya mereka
bertengkar. Dalam isu-isu inilah QS lagi-lagi muncul untuk memberikan sudut
pandang lain (dibaca melerai). Seperti soal hukum mendirikan salat jumat yang
berlanjut ke topik kekafiran orang yang tidak melaksanakan salat jumat 3 kali
berturut-turut, hingga topik tentang korona tentara Allah yang tak kalah panas.
Saya mengamati perseteruan ini semakin memanas seusai kaum fundamentalis
memperoleh panggung. Suara di ruang publik yang nyaring serta gerakan yang lebih
terorganisir cukup untuk membuat kelompok Islam Tradisional terbangun dari
tidurnya yang lelap. Buktinya, nama PA 212 sering kita ketahui mengorganisir
aksi-aksi besar berskala nasional; seperti Aksi 22 Mei yang menggugat dugaan
kecurangan dalam pemilihan presiden 2019.
Seperti biasanya, di momen-momen perseteruan umat ini QS selalu muncul.
Ketika Aksi 22 Mei, dia mengatakan kepada FPI—yang turut bergabung dalam aksi
itu—untuk tetap mengingat arti berjihad. Apalagi
FPI merupakan organisani Vigilante yang tak tanggung-tanggung
militansinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal itu ia
sampaikan dalam jumpa pers Gerakan Suluh Kebangsaan yang diadakan pada hari
Kamis, 23 Mei 2019.
Sebenarnya sikap QS terhadap Fundamentalisme cukup keras. Dia sampai
mengibaratkannya seperti tamu tanpa izin. Dan saya pribadi setuju atas
persamaan itu. Namun disisi lain saya berpikir bagaimana tamu itu sampai bisa
masuk ke rumah orang tanpa izin? Barangkali si pemilik rumah (pemerintah)
yang memang membiarkan pintu terbuka sehingga tamu asing itu dapat
leluasa di dalam rumahnya.
Penulis: Muzammil Zahwa