Diskrepansi Istihsan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i

 


Sebagaimana yang kita tahu dalam diskursus usul fikih, istihsan merupakan salah satu dalil yang masih diperselisihkan oleh ulama ushul fikih (al-adillah al-mukhtalaf alaihâ).  Imam al-Amidy (w. 631 h) dalam kitabnya al-Ihkâm fî usûl al-Ahkâm mengatakan, “bahwa dalam pembahasan istihsan terdapat perselisihan pendapat diskrepansi hakikat istihsan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i”.Sebelum memasuki titik permasalahan (diskrepansi istihsan), penulis mengajak pembaca untuk mengetahui pengertian istihsan yang telah disepakati oleh kalangan ulama usul fikih, karena orang bisa mengkritisi sesuatu jika sudah mengetahui hakikat maknanya. (baca: Adâb al-Bahs al-Muhâdarah)

Istihsan secara etimologi adalah sesuatu yang dianggap baik. Adapun secara terminologi adalah mengutamakan qiyas khafy daripada qiyas jaly karena ada dalil yang menunjukannya (dalil yang lebih kuat), atau juga bisa diartikan mengecualikan suatu hukum dari hukum kaidah aslinya. Contohnya jual beli online, jika kita mengembalikan jual beli online terhadap hukum aslinya maka hukumnya haram atau jual beli tesebut tidak sah, karena saat melakukan transaksi jual beli barang tesebut tidak tampak. Akan tetapi hukum tersebut dikecualikan, karena ada dalil yang lebih spesifik.

Sejarah merekam bahwa ulama mazhab yang petama kali menggunakan istihsan yaitu Imam Abu Hanifah. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah dikenal dengan Imam istihsan. Dalam mazhab Imam Hanafi istihsan merupakan salah satu dalil dan metodologi yang digunakan untuk memproduksi hukum-hukum Islam. Sayangnya Imam Abu Hanifah tidak memberikan pengertian tentang istihsan, sehingga menimbulkan perdebatan diantara ulama setelahnya, salah satunya Imam Syafi’i.

Lantas mengapa penulis hanya menyebutkan Imam Syafi’i sebagai tokoh yang menentang istihsan? Setidaknya ada tiga hal menurut penulis. Pertama, Imam Syafi’i menulis secara terang-terangan dalam kitab al-Um dan ar-Risalah menentang metode istihsan dengan judul (ibthâl al-Ihtisân: pembatalan istihsan). Kedua, menunjukan kredibilitas Imam Syafi’i sebagai pakar usul fikih sekaligus tokoh yang pertama kali memodifikasi diskursus usul fikih. Ketiga, menunjukan keniscayaan perbedaan pendapat antara guru dan murid dalam kancah akademis, karena Imam Syafi’i mempelajari metodelogi mazhab Hanafi dengan Muhammad bin Hasan as-Syaibani, salah satu pembesar mazhab Hanafi sekaligus murid Imam Abu Hanifah.

Imam Syafi’i membantah istihsan dalam karya monumentalnya “ar-Risalah” dan “al-Um. Menurutnya orang yang menggunakan metodelogi istihsan berarti ia telah membuat syariat baru, karena dasar dari penggunaan metodelogi istihsan yaitu akal.  Akal mempunyai porsi yang sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak bepengetahuan, maka tentunya boleh setiap orang membuat syariat baru atau hukum baru.

Perkataan ini ditafsirkan oleh Imam Ghozali – pengikut mazhab syafi’i yang mempunyai pengaruh besar dalam akademik diskursus usul fikih dan salah satu pembesar mazhab syafi’i – bahwa Imam Syafi’i mencurigai orang yang memproduksi hukum melalui metodelogi istihsan, dikarenakan akal disini lebih cenderung pada hawa nafsu (dalam artian tidak menggunakan sumber primer nas Islam).

Bagi penulis pernyataan tersebut merupakan kehatian-hatian Imam Syafii dalam memproduksi hukum-hukum islam, bukan berarti secara mutlak Imam Syafi’i melarang penggunaan metodelogi istihsan. Hal ini terbukti dengan realitas zaman milenial ini, banyak orang yang kurang memahami metodelogi istihsan dan dengan gampangnya mengatakan “sesuatu yang dianggap baik oleh manusia maka baik di sisi Allah, atau dengan kata lain al-‘Adât muhakkamat, tradisi bisa dijadikan hukum”.

Imam Abu Zahrah dalam kitabnya yang berjudul “as-Syafi’i” mengutip perkataan Imam Syafi’i, “Sesungguhnya metodelogi istihsan tidak mempunyai kaidah, dan tidak mempunyai kapasitas perkiasan antara hal yang benar dan hal yang salah. Seandainya setiap mufti, hakim, mujtahid boleh menggunakan istihsan yang mana tidak ada sumber primernya, maka akan mengasilkan sesuatu yang berlebihan, bisa juga menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadis”. dari penyataan di atas dapat kita sederhanakan, bahwa Imam Syafi’i tidak setuju dengan metodelogi istihsan karena penggunaan tersebut menggunakan akal yang tidak bersumber dari nas Islam atau menggunakan hawa nafsu.

Pada dasanya, alasan lmam Syafi’i mengenai istihsan yang cenderung menggunakan hawa nafsu praktis dibantah oleh kalangan ulama Hanafi. Abu Hasan al-Karakhi – pembesar mazhab hanafi--  berkata, “ Istihsan merupakan berpalingnya seorang mujtahid kepada hukum lain dari suatu hukum dalam sebuah masalah yang sebanding, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama ( ada dalil yang lebih kuat )”.

Pengertian tesebut dikategorikan oleh Abu Zahroh sebagai pengertian yang lebih jelas dan menggambarkan hakikat istihsan bagi ulama hanafiyah. Contohnya makan dan minum tidak membatalkan puasa ketika dilakukan seseorang dalam keadaan lupa. Jika hukum tersebut dikiaskan terhadap hukum aslinya maka puasa tersebut tidak sah atau batal, karena tersampainya sesuatu ke bagian dalam, al-Jauf, akan tetapi hukum tersebut ditiadakan karena adanya dalil yang menunjukan ketidakbatalan puasa tersebut.

Ulama hanafiyah membagi istihsan menjadi lima macam. Pertama, istihsân bi an-Nash (istihsan dengan nas )yaitu mengganti hukum kias dalam suatu permasalahan yang telah ditetapkan oleh nas, seperti diperbolehkannya jual beli online. Kedua, istihsân bi al-Ijmâ’ (istihsan dengan ijmak) yaitu mengganti hukum kias dalam suatu permasalahan yang telah ditetapkan secara ijmak, seperti perjanjian untuk membuatkan sesuatu (‘aqd al-istishnâ’).

Ketiga, istihsan bi al-darûrat (istihsan dengan keadaan darurat ) yaitu mengganti hukum kias dari kaidah umumnya. Karena mujtahid menemukan darurat jika masih ditetapkannya hukum secara kias dan kaidah umum, seperti membersihkan sumur yang kejatuhan barang najis, karena setiap air yang dituangkan ke sumur untuk mensucikannya akan menjadi najis dengan najis yang ada di sumur tersebut. Akan tetapi air tersebut dihukumi tidak najis melalui istihsan karena keadaan darurat.

Keempat, istihsân bi al-‘Urf ( istihsan dengan adat )yaitu mengganti hukum kias dalam suatu permasalahan ke hukum yang berbeda, seperti sewa toilet umum dengan membayar sesuatu yang tidak tau ( bukan membayar air yang digunakan, atau membayar waktu saat di toilet), jika di hukumi melalui kias, maka hukumnya tidak boleh karena membayar sesuatu yang tidak diketahui, akan tetapi diperbolehkan karena kebutuhan untuk keperluan toilet atau lainnya. Kelima, istihsân bi al-Qiyâs al-Khafy ( istihsan dengan kias khafy)yaitu mengganti hukum kias karena adanya pertentangan dua hukum kias, dan mujtahid menghukumi satu kias yang menurutnya lebih maslahat.

Istihsan mempunyai relasi erat dengan kias, sehingga muncul perspektif bahwa seolah-olah Imam Abu Hanifah meninggalkan kias ( yang mana kias merupakan salah satu metodelogi yang telah disepakati untuk memproduksi hukum-hukum Islam ). Lantas apakah Imam Abu Hanifah benar-benar meninggalkan kias dan menggantikannya dengan istihsan?

Pertama, tuduhan sebagian kalangan terhadap Imam Abu Hanifah yang menggantikan kias dengan istihsan dibantah oleh Abu Yusri al-Bazdawi – pembesar mazhab Hanafi – . ia mengatakan bahwa sebagian kalangan yang menuduh Imam Abu Hanifah meninggalkan kias merupakan sebagian kalangan yang tidak memahami secara komprehensif hakikat konsep istihsan. Kedua, tanpa disadari penggunaan konsep istihsan hampir sama dengan penggunaan kias, hanya terdapat perbedaan dalam penamaan. Kias di sini bukan berarti kias yang telah disepakati oleh ulama usul fikih, atau kata lain qiyâs isthilâhkî, melainkan pengkiasan secara kaidah umumnya.

Kesimpulannya, perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i bukanlah dalam hakikat makna istihsan, melainkan hanya perbedaan secara linguistik. Hal ini terbukti dalam pembagian kias dari segi kejelasan illatnya, karena pembagian ini terdapat perbedaan perspektif antara kalangan syafi’iyyah dan hanafiyah. Kalangan Syafi’iyyah membagi dua bagian, qias khafy dan qias jaly. Sedangkan kalangan hanafiyah juga membagi dua bagian, qias jaly dan kias adna. Qias adna disini menurut perspektif kalangan hanafiyah disebut juga dengan istihsan, ( baca: al-Wajîz fî usûl al-Fiqh karangan Syekh Wahbah Zuhaily).

Selain itu, Syekh Ali Jum’ah memberikan pengertian istihsan, beliau mengatakan istihsan yaitu seorang mujtahid menggunakan qiyas khafy yang lebih kuat ilatnya, dan meninggalkan qiyas jaly yang lemah ilatnya. Maka dari itu, Metodelogi istihsan dapat diimplementasikan dengan cara benar-benar mengetahui akar permasalahan dan hakikat makna dalilnya, karena istihsan menggunakan dua dalil dan seorang mujtahid memilih dalil dan ilat yang lebih kuat.

Penulis: M. Nur Iman Mundir

Previous Post Next Post