Covid-19 adalah penyakit menular pada manusia yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 yaitu salah satu anggota virus korona yang mengakibatkan infeksi pernapasan hingga dapat mengakibatkan kematian. Virus ini pertama kali teridentifikasi di kota Wuhan, Tiongkok. Penomoran 19 pada Covid-19 menandakan awal mula penyakit menyebar yaitu pada akhir tahun 2019.
Rabu (11/3) Organisasi
Kesehatan Dunia WHO menetapkan virus ini sebagai pandemi setelah mendapati
virus ini telah menyebar di lebih dari seratus negara. Karena virus ini begitu
mudah menyebar, para pemerintah di berbagai negara pun merespon dengan
mengeluarkan berbagai protokol seperti lock down dan physical
distance guna mencegah penyebaran virus yang belum ditemukan vaksinnya
ini.
Di indonesia, pemerintah kita memberlakukan darurat virus Covid-19 dengan
menghentikan semua kegiatan yang melibatkan banyak orang, termasuk kegiatan
belajar-mengajar, bekerja, beribadah di rumah ibadah dan berbagai acara yang
bersifat umum. Langkah ini diambil demi mengurangi jumlah aktivitas di luar
rumah dan interaksi langsung dengan orang lain atau biasa disebut dengan physical
distance. Tentunya, kebijakan ini diambil adalah demi terputusnya rantai
penyebaran virus Covid-19 yang begitu mudah menyebar.
Namun ketika penulis berselancar di media sosial, penulis mendapati beberapa
persoalan berupa opini-opini masyarakat yang beragam tentang kebijakan
pemerintah di atas. Penulis mendapati dalam sebuah video di Twitter sekelompok
orang sedang menurunkan baliho di sebuah masjid yang bertuliskan anjuran untuk
sementara beribadah di rumah karena merebaknya virus Covid-19. Dengan gemuruh
takbir, mereka menurunkan baliho tersebut sembari berteriak, “Jangan takut
pada korona, takutlah pada Allah!"
Dalam video tersebut, jujur penulis memang agak tidak kaget dengan pandangan
masyarakat yang mabuk agama seperti demikian. Fenomena mabuk agama yang tidak
selaras dengan pengetahuan dan kedalaman analisa terhadap teks agama seperti menjadi
pemandangan yang lumrah dijumpai di media sosial dewasa ini. Akan tetapi,
sesuatu yang lumrah ini tidak boleh dibiarkan karena bisa saja menjadi sebuah
klaim kebenaran.
Bagaimana mungkin dalam vidio tersebut, mereka menyandingkan ketakutan atas
sebuah penyakit dengan ketakutan pada Allah Swt.? Perbandingan yang mereka
lakukan adalah bukti atas paradigma yang sesat (falasi). Terdapat kerancuan
metode berpikir dalam logika yang mereka bentuk dalam perbandingan tersebut.
Bahwa seakan-akan kita sebagai manusia ciptaan Allah Swt., dipaksa untuk tidak
takut suatu apapun dalam hidup kecuali hanya takut padaNya. Dan apabila kita
takut pada selain Allah Swt. maka kita telah menghilangkan ketakutan padaNya.
Padahal, tujuan dari perintah takut pada Allah Swt. adalah agar kita senantiasa
melaksanakan tugas sebagai hambaNya, yaitu dengan melakukan segala perintah dan
meninggalkan segala laranganNya. Kita sebagai umat manusia, dalam keadaan
sendiri maupun ramai, harus selalu takut pada Allah Swt. Perasaan takut yang
ada harus disadari dengan penuh oleh setiap manusia sebagai mahluk ciptaanNya,
yaitu dengan cara menghadirkan Allah Swt. dalam segala perbuatan kita.
Selain itu, ketakutan kita pada Allah Swt. juga membutuhkan upaya atau usaha
untuk membuktikan bahwa kita benar-benar takut padaNya. Dalam hal ini kita
perlu melakukan upaya perlindungan diri dari virus Covid-19 ini. Sebab Allah
Swt. juga menciptakan hukum sebab-akibat, sehingga kita perlu untuk berusaha
baik secara lahir dan batin demi mengupayakan pencegahan diri atas virus
tersebut. Dimana usaha juga merupakan implementasi dari bentuk ketakwaan kita
pada Allah Swt.
Lalu muncul pertanyaan, apakah kita boleh memiliki ketakutan lain di samping ketakutan kita pada Allah Swt. yang mana ia menjadi payung atas segala ketakutan kita? Tentu boleh. Seharusnya dengan melihat banyaknya korban yang berjatuhan akibat virus korona, kita sebagai muslim juga memiliki ketakutan terhadap virus tersebut. Karena seperti yang kita ketahui bahwa virus ini bisa menyebabkan penyakit yang mengakibatkan kita tidak bisa beribadah kepada Tuhan dengan tenang. Dimana ibadah kita adalah sebuah implementasi akan ketakutan pada Tuhan Yang Maha Agung dan Bijaksana.
Kebijakan mengosongkan rumah ibadah
seperti di atas bisa diartikan sebagai usaha untuk menjaga keselamatan diri dan
orang lain, yang mana merupakan implementasi dari ketakutan kita yang mendasar
yaitu ketakutan pada Allah Swt. Ketakutan kita kepada virus korona hanya
merupakan salah satu bentuk dari ketakutan terbesar seorang muslim yaitu takut
tidak lagi bisa beribadah kepadaNya.
Menurut penulis, persoalan yang mendasari munculnya paradigma yang gagal dalam logika ini, diantaranya adalah karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman dalam mempelajari teks-teks agama. Andaikan orang-orang ini mau berusaha membaca dan mempelajari teks-teks keagamaan atau mendengar ceramah para ulama yang benar-benar memiliki pengetahuan keagamaan yang matang, maka tindakan bodoh seperti di video tersebut tidak akan terjadi. Padahal secara jelas terdapat suatu kisah yang menggambarkan bolehnya seorang muslim takut terhadap suatu wabah penyakit.
Diriwayatkan bahwa Sahabat Umar bin Khattab Ra. pernah mengurungkan niatnya untuk masuk ke tanah Palestina. Hal itu dikarenakan di sana sedang terjadi wabah yang menyebar ke seluruh penjuru Palestina. Ketika Sahabat Umar bin Khattab Ra. mengurungkan perjalanannya, salah sorang Sahabat yang lain berkata kepadanya,
“Mengapa engkau mengurungkan kepergianmu ke kota tersebut? Bukankah Allah Swt. sudah menentukan takdir setiap orang (hidup dan matinya)?” Kemudian Sahabat Umar bin Khattab Ra. menjawab, “Aku pergi dari takdir Allah Swt. yang satu menuju takdir Allah yang lainnya. Sesungguhnya Rasulullah Saw. pun dulu pernah melakukan hal demikian.”
Apabila dengan kisah diatas, beberapa orang masih saja belum paham dengan
tindakan penutupan rumah ibadah dan pelarangan sementara salat berjamaah di
masjid, maka mungkin penulis perlu menambahi kisah lain dari sebuah Hadis yang
disebutkan dalam kitab Sahih Muslim. Diriwayatkan bahwa Sahabat Ibn Abbas Ra.
suatu ketika pernah memerintahkan pada muazin—yang mana kala itu sedang terjadi
hujan lebat—untuk mengganti ucapan, “Hayya ‘ala ash-shalât” dengan
ucapan, “Shallû fî buyûtikum.” Hal ini dilakukan oleh sahabat Ibn
Abbas dengan alasan tidak ingin menyulitkan masyarakat karena harus pergi untuk
salat berjamaah di masjid—yang mana salat tersebut adalah salat Jumat, sedang
pada saat itu jalanan menuju masjid licin dan dipenuhi banyak lumpur.
Jika melihat kisah diatas, kita dapat mengerti bahwa meski dalam keadaan
yang tidak terlalu membahayakan saja (hujan lebat) salat berjamaah di masjid
bahkan salat Jumatpun boleh sementara untuk ditiadakan. Maka dalam keadaan
sekarang—adanya wabah yang menyebar—menutup tempat perkumpulan umum termasuk di
antaranya adalah masjid, tentu merupakan sebuah tindakan yang tepat. Jangan
sampai, masjid di saat seperti ini menjadi tempat yang membahayakan kesehatan
kita. Jika penutupan masjid ini diartikan oleh kelompok di atas sebagai
pelarangan ibadah, maka terlihat jelas bahwa mereka lupa jika beribadah tidak
hanya sekadar di masjid.
Penulis: M. Sultan Ali Khan