Saat menjenguk para santrinya pada 2014 silam—bertepatan dengan tahun kedatangan angkatan saya—, Abah Kyai Najib menceritakan perjuangan beliau yang sendirian berada di perantantuan.
“Sekarang sampean semua sudah enak, Kang. Saudaranya banyak di sini. Waktu itu saya hanya sendiri di tanah rantau,” ungkap beliau.
Saya merasakan betul betapa bahagianya mempunyai teman se-almamater yang
tinggal bersama jauh di perantauan. Walaupun saat itu IKAMARU RAM belum
sebanyak sekarang, hanya sekitar 40 orang. Akan tetapi rasa memiliki dan
persatuan sangat terasa di dalam organisasi almamater ini. Sebagai contoh saat
kumpul bulanan, dalam menyediakan konsumsi dan masak-masak, seluruh anggota
saling membantu dalam pelaksanaannya.
Namun, meningkatnya kuantitas membuat nilai-nilai tersebut kian pudar.
Padahal, kuantitas selain menjadi kebanggaan kita semua, ia juga menjadi
tantangan bagi kita. Hal tersebut yang kerap kita abaikan selama ini.
Sekarang, ketika mengadakan kumpul bulanan, dengan berat hati saya
mengatakan sebuah fakta, bahwa hanya pengurusnya saja yang menyiapkan konsumsi
untuk kumpul bulanan. Bahkan pengurus yang tidak mendapat jatah piket untuk
masak acuh saja dan tidak mau membantu. Hanya ketua, pengurus harian dan DP
Sosial yang bersedia membantu. Lebih parahnya lagi, yang bukan menjadi bagian
dari pengurus merasa hal tersebut bukan tanggungjawabnya. Pengurus ibarat tuan
rumah, dan mereka sebagai tamu undangan, bukan orang rumah. Bahkan kalau saja
kumpul bulanan tanpa konsumsi, mungkin acara ini tidak akan dihadiri.
Sebenarnya contoh yang diambil ini hanya sebagian kecil dari keresahan saya.
Masih banyak lagi rasa kurang memiliki terhadap organisasi ini yang masih bisa
dijabarkan. Dampak dari rasa acuh semacam itu, menjadi semakin parah untuk
program yang bersifat mikir (diskusi ilmiah; seperti Kajian Fakultatif dan Kelas
Menulis) yang kesemuanya tanpa konsumsi berat, beberapa tahun terakhir sangat
sepi peminat bahkan seperti diabaikan keberadaan program tersebut.
Sebagai seorang mahasiswa, kajian fakultatif dan kelas menulis yang
ditawarkan oleh DP IKAMARU seharusnya menjadi wahana menggali keilmuan dan
melatih skil kepenulisan bagi para anggotannya. Apa yang mereka pelajari di
kampus maupun tempat-tempat talaqi bisa dikaji bersama dan dituangkan ke dalam
bentuk tulisan. Dari semua anggota IKAMARU RAM yang berjumlah sekitar 200-an
orang, hanya ± 10 orang yang mengikuti kegiatan ini. Itupun beberapa hanya
menjadi pendengar setia atau kebetulan rumahnya dijadikan tempat kajian
tersebut.
Sense of belonging sebenarnya sudah disertakan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi oleh para sesepuh kita. Saat menyusunnya, saya yakin mereka berijtihad bahwa jargon ini tidak boleh hanya tertulis dan menguap di udara. Harus ada pengaplikasian dari para anggotanya, sehingga organisasi yang berlandaskan keluarga almamater ini berjalan sebagai mana mestinya.
Saya pikir Sidang Permusyawaratan Anggota(SPA) tahun ini bisa menjadi momentum bagi kita untuk berbenah kedepannya. Sidang yang sampai membuat mulut berbusa ini jangan sampai hanya menjadi pembicaraan kosong belaka. Ada perubahan serius secara mental dari para anggotanya untuk berbuat lebih bagi organisasi ini kedepannya tanpa harus diminta. Jangan sampai yang merasa bukan tanggungjawabnya, tidak tergerak untuk ikut membantu. Saya bangga melihat kawan-kawan Ikamaru aktif di Masisir, namun apalah arti sebuah kesuksesan jika tak ingat jalan pulang dan lebih mementingkan rumah lain serta meninggalkan rasa memiliki terhadap IKAMARU.
Maka hemat saya, mungkin setelah selesainya acara SPA ini, MPA dan Pengurus
IKAMARU yang baru bisa membuat obrolan ringan di Mabes Gamik untuk membahas
masalah-masalah di internal Ikamaru. Obrolan kecil dan sedikit komunikasi
sepertinya akan lebih mencairkan suasana. Sambil menikmati ubi rebus buatan Kak
Soesalit dan racikan Syisanya Kang Muhib, berbagai masalah sepertinya akan
mudah diatasi. Bukankah memang begitu yang seharusnya terjadi dalam sebuah
keluarga?.